UJIAN
AKHIR SEMESTER
SEMINAR MEDIA
DAN TEORI-TEORI SOSIAL
Resume
Journal
How Islamic are Islamic Countries?
Islam adalah agama dan cara hidup
berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib
membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ajaran Islam adalah ajaran yang mencakup semua
ranah aktivitas manusia dari yang remeh-temeh hingga urusan negara, Islam telah
memberikan petunjuk di dalamnya.
Jika Islam adalah agama dan membicarakan
masalah hubungan agama dengan negara adalah sesuatu yang menarik,
mengapa? Karena akhirnya kita dapat mengetahui agama dan negara bagaikan
dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan.
Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial
bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu
yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Pembahasan lebih mendalam mengenai
hubungan antara agama dan negara bisa dipelajari dalam jurnal “How Islamic are Islamic Countries?”.
Jurnal yang mengawali pembahasannya dengan pertanyaan penting dan berhati-hati
dalam memposisikan agama yang harus dipandang sebagai variabel dependen ataukah
variabel indenpenden (dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010). Dalam jurnal
tersebut, Rehman dan Askari pun membenarkan bahwa agama dan negara dua hal yang
saling berkaitan dengan mengangkat isu 9 September 2001, dimana pasca peristiwa
tersebut membawa dampak yang berporos pada religiusitas, yakni agama
mempengaruhi sisi kehidupan bernegara ataukah sebaliknya (dalam abstraksi
Rehman & Askari, 2010).
Selain itu, kedua penulis
juga merangkum permasalahan dalam abtraksinya seputar esensi keberanggotaan OIC
untuk memperkirakan hubungan antara Islam dan negara (dalam abstraksi Rehman & Askari,
2010). Pertanyaaan-pertanyaan tersebut dibahas dalam dua
bagian, yakni bagian pertama yang menjelaskan secara ringkas mengenai
karakteristik dan fondasi negara Islam menurut penulis dan bagian kedua,
penulis mengembangkan instrumen untuk mengukur keislaman negara Islam dan non Islam
(dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010).
Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang
ingin dikupas mendalam oleh Rehman dan Askari dalam Jurnal “How Islamic are islamic Countries?”.
Jurnal tersebut memiliki pembahasan yang terbagi dalam tujuh judul dan diawali
dengan abtraksi sebagai rangkuman dari keseluruhan bagian jurnal yang telah
disebutkan di atas.
Judul pertama yang mengawali pembahasan
kedua penulis dalam jurnal mereka yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” yakni “Introduction”. Dalam judul kali ini, penulis mengutarakan berbagai
temuan-temuan dari ahli akademik dalam menilai korelasi antara agama dengan ekonomi,
keuangan, pembangunan sosial, hukum, dan politik negara. Seperti yang dilakukan
oleh akademisi Bernard Lewis dan Robert Barro untuk menilai hubungan antara
agama dan ekonomi, hukum, dan pembangunan sosial negara (dalam Rehman &
Askari, 2010:1).
Meski demikian, penulis menilai
penelitian-penelitian yang dilakukan para sosiolog sebelumnya penuh dengan
keterbatasan dalam menyelidiki korelasi antara agama dan ekonomi, hukum, serta
pembangunan sosial negara (dalam Rehman & Askari, 2010:1). Penulis
menganggap bahwa penelitian sebelumnya menilai Islam hanya dari subjek yang
dilabeli sebagai Muslim dan bukan oleh pesan sebenarnya dari Islam yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam Rehman dan Askari, 2010:1).
Penulis setuju ada keseragaman polemik
yang muncul dari setiap akademisi dalam penelitian mereka untuk melihat
korelasi antara agama dan kinerja ekonomi, yakni bagaimana memposisikan agama, sebagai
variabel indenpenden ataukah sebagai variabel dependen. Sebelum meneliti lebih
dalam, peneliti harus memastikan posisi agama untuk
menilai
korelasi antara Islam dan kinerja ekonomi, standar hidup, dan pembangunan pada
umumnya sehingga tidak memunculkan perdebatan baru.
Jurnal “How Islamic are Islamic Countries?”
memiliki dua tujuan dalam penelitiannya, yakni untuk memeriksa apa yang diyakini
sebagai ajaran Islam sesuai Al-Qur’an
dan As-Sunnah dalam membentuk kebijakan negara yang
dicap sebagai "Islam", dan mengusulkan langkah awal untuk melihat sejauh
mana kepatuhan terhadap ajaran agama dan doktrin di negara-negara yang diberi
label sebagai Islam dengan mengembangkan IslamicityIndex
(I2) (dalam Rehman dan Askari, 2010:2). Idealnya Islam ini tergambar dalam
dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup. Al-Qur’an
dan As-Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam menjadi
pedoman hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh
dengan kehidupan.
Memasuki
judul berikutnya yakni, “Measuring
Islamicity”. Dalam judul ini, penulis mengembangkan indeks Islamicity di
mana dalam pengembangan indeks tersebut penulis melihat dan membandingkannya ke
berbagai standar, baik dengan 208 negara di dunia, negara-negara OIC, maupun
standar Barat, yang didokumentasikan dalam berbagai indeks ranking terkenal, dan
tentu saja juga dengan yang diyakini sebagai standar Islam (dalam Rehman &
Askari, 2010:3).
Meski demikian,
pada judul kali ini ternyata kekhawatiran penulis sama dengan yang tersirat
pada judul sebelumnya. Penulis menitikberatkan perlunya kehati-hatian dalam
menilai Islam. Pertanyaan apapun yang muncul memiliki kadar dan kebutuhan
berbeda untuk setiap penelitian meski tema dan topiknya sama, yakni menilai
Islam.
Pembahasan
selanjutnya diberi judul “Islamic
Teaching and The Islamicity Index” yang diperdalam dengan subjudul “Nature of Islamic Teachings”. Dalam judul
kali ini, penulis membahas mengenai ajaran Islam dimana dari ajaran ini
akhirnya mengerucut pada permasalahan yang terdapat di pembahasan dalam
judul-judul sebelumnya, yakni mengenai derajat keislaman suatu negara maupun
subjeknya yang disebut Muslim. Penulis mengawalinya dengan pertanyaan
“Bagaimana Islam di negara Islam dan apa ukuran dari keislaman tersebut”,
inilah yang mengantarkan kita untuk memasuki pembahasan kali ini (Rehman &
Askari, 2010:3-4).
Islam bukan semata penyerahan dan
perendahan yang disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan
Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat
kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang
ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
Untuk
mengetahui derajat keislaman suatu negara Islam ataupun seorang Muslim, penulis
berkeyakinan hal tersebut bisa ditelisik dari ajaran-ajaran Islam.
Ajaran-ajaran Islam menjadi pedoman dalam pengembangan indeks dan penulis
sepakat sifat ajaran Islam yang berbasis
aturan eksplisit ternyata mampu menghasilkan aturan dan pedoman rinci
bagi ekonomi dan sistem pemerintahan yang sukses, penghormatan terhadap hak
asasi manusia, kebebasan memilih dan perlindungan di bawah kode hukum tertentu,
serta mengelola hubungan eksternal (dengan non-Muslim) (Rehman & Askari,
2010:4). Dari sifat ajaran islam yang memiliki pedoman rinci tersebutlah,
akhirnya penulis berkesimpulan lebih mudah untuk menciptakan Indeks keislaman dibandingkan
dengan membangun sebuah "Indeks Katolisitas”.
Penulis
memiliki alasan kuat dalam penarikan kesimpulan ini. Penulis menjelaskan bahwa ajaran
Islam yang dilandasi Al-Qur’an dan Hadist telah mencakup Ijma (mujtahid dan Qiyas), yakni pendapat berdasarkan
doktrin dan analogi agama (Rehman & Askari, 2010:4). Dimana Ijma tersebut menjelaskan secara rinci
dan menjadi pedoman serta aturan dalam menjalankan pekerjaan, yang berbasis
pasar ekonomi, berbagi, persaingan, perpajakan, keuangan pemerintah, perilaku
lembaga keuangan, pemberantasan kemiskinan, pengeluaran sosial dan ekonomi yang
mempengaruhi kemiskinan, distribusi pendapatan, kepemilikan swasta, aturan
hukum, kesucian kontrak, pengelolaan sumber daya alam dan pergaulan terhadap
non-Muslim, warisan dan perawatan anak, tata pemerintahan yang baik, sedekah
kepada orang miskin, hak-hak sipil laki-laki dan perempuan (Rehman &
Askari, 2010:4).
Dari Ijma ini, penulis akhirnya membagi
ajaran Islam ke dalam lima bidang sesuai kebutuhan pengembangan indeks
keislaman meski akhirnya bidang pertama tidak ditafsirkan untuk penciptaan
indeks keislaman karena esensinya mengatur hubungan dengan Tuhan dan perbuatan
manusia. Keempat bagian lainnya yakni, mengenai sistem ekonomi yang berkaitan
dengan kebijakan ekonomi dan keadilan sosial, selanjutnya sistem hukum,
pemerintahan dan hak asasi, kemudian hubungan manusia dengan politik, dan yang
terakhir menyangkut hubungan internasional (terutama yang dengan non-Muslim)
(Rehman & Askari, 2010:5).Dalam sejarah tercatat
bahwa Nabi Muhammad pada masa mudanya adalah seorang pedagang yang menjualkan
barang-barang milik seorang pemilik barang yang kaya, yaitu Khadijah.
Keberhasilan dan kejujuran Nabi dibuktikan dengan ketertarikan sang pemilik
modal hingga kemudian menjadi istri Nabi. Termasuk pekerjaan berdagang atau
berniaga yang diungkapkan dalam Al-Qur'an sebagai suatu pekerjaan atau mata
pencaharian yang baik.
Pembahasan
berikutnya merupakan rangkuman mengenai ajaran Islam atas jual-beli yang
menumbuhkan perekonomian sehat, efisien serta kompetitif dimana kali ini diberi
judul “A Summary of Islamic Teachings to
Measure Islamicity”. Berdagang dalam pandangan Islam merupakan bagian dari muamalah
antar manusia yang dapat menjadi amal saleh bagi kedua pihak, baik pedagang
maupun pembeli, jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan apa yang
dilakukannya bukan hal yang terlarang. Berdagang dalam Islam diarahkan agar
para pihak yang melakukan merasa senang dan saling menguntungkan, karena itu
faktor-faktor yang dapat menimbulkan perselisihan dan kerugian masing-masing
pihak, harus dihindarkan. Untuk itu Islam mengajarkan agar perdagangan itu
diatur dalam administrasi dan pembukuan yang tertib.
Islam
merupakan penerimaan dan penyerahan diri kepada
Tuhan, dan umat Muslim harus menunjukkan ini dengan keyakinan hanya kepada-Nya,
menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme seperti yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasul. Perlakuan baik dan buruk seorang Muslim selalu ada ganjaran dari Allah
dimana empat dasar konsep mendukung sistem berbasis aturan
Islam ini, di antaranya walayahh, karamah, meethaq dan khilafah. Dalam
pembahasannya, melalui keempat konsep dasar tersebut, penulis mengungkapkan
bagaimana praktik jual-beli yang berkeadilan dan mendorong tumbuhnya
perekonomian yang sehat.
Walayahh
mengisyaratkan cinta Allah kepada ciptaan-Nya dimanifestasikan melalui tindakan
penciptaan dan ketentuan rezeki. Inti dari konsep dasar walayahh adalah kasih yang
diwujudkan melalui pengetahuan dan penegakan keadilan (Rehman & Askari,
2010:5). Konsep selanjutnya yakni karamah dimana Al-Qur’an menganggap manusia
sebagai bagian dari pencapaian terbesar penciptaan Allah yang telah diberkahi
dengan kecerdasan untuk mengetahui ke Esa-an Allah, mengakui dan menghargai
alam semesta serta segala sesuatu di dalamnya dan memahami alasan keberadaan
mereka sendiri yang seutuhnya bergantung pada kehendak Allah (Rehman &
Askari, 2010:5). Manusia
bahkan bebas untuk memilih agama mereka sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an,
tidak boleh ada penyesalan dalam agama (Al-Quraisy 2:256 dalam Rehman &
Askari, 2010:5).
Selanjutnya
konsep meethaq, merupakan perjanjian primordial manusia untuk bersaksi bahwa
mereka mengakui Ke-Esa-an Allah, sementara konsep terakhir adalah dari khilafah
atau lembaga-amanah (Rehman & Askari, 2010:6). Penulis berkeyakinan bahwa konsep dasar tersebut terinternalisasi
dalam aturan yang mengatur perilaku partisipasi pasar dan menumbuhkan kepatuhan
berdampak pada mekanisme menjadi efisien untuk menciptakan keseimbangan dalam
perekonomian (Rehman & Askari, 2010:6). Esensi
dari masyarakat Islam adalah bahwa aturan yang ada berpusat pada konsep
keadilan (Al'adl) untuk mencapai
pemerataan kekayaan dan sumber daya meliputi: a) pembinaan etika dan nilai-nilai moral seperti
keadilan, kejujuran kesetaraan, b) alat dan instrumen ekonomi seperti zakat,
sedekah, dan warisan dan hukum properti, dan terakhir c) pengembangan kapasitas
kelembagaan dan kemauan politik untuk memastikan bahwa prinsip dan norma-norma ini ditegakkan secara memadai
(Rehman & Askari, 2010:7). Panggilan hukum Islam jelas, yakni untuk
transparansi dan kebebasan pasar yang berkeadilan, komersial dan menganut etika
bisnis sebagai standar dasar kegiatan ekonomi dimana setelah penaklukan Mekkah
dan seluruh Arabia, aturan yang mengatur pasar dan peserta dilembagakan dan diterapkan
untuk umum termasuk pasar di Saudi.
Dalam
empat konsep dasar ini berkembang istilah-istilah yang merupakan aturan seperti
ihtikar, ta'seer, najsh, tatfeef, Khyar
Majlis, Khyar Rou'yah, Khyar Qashsh, Khyar Shart, Khyar Moddah dan Khyar Haywan. Bunyi masing-masing
isltilah tersebut sebagai berikut, ihtikar yakni pelarangan penimbunan
komoditas dan produktif sumber daya untuk tujuan mendorong harga, pelarangan
kontrol harga (Ta'seer), larangan
penjual atau pembeli merugikan kepentingan pelaku pasar lainnya, misalnya,
dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengganggu negosiasi antara dua pihak
(disebut najsh) untuk mempengaruhi negosiasi
untuk kepentingan salah satu pihak, dan larangan perubahan singkat pembeli,
misalnya, dengan tidak memberikan bobot penuh dan ukuran (tatfeef) (Rehman & Askari, 2005:8).
Selain
itu, penjual dan pembeli diberi hak pembatalan kesepakatan, seperti (i) penjual
dan pembeli bisa mengakhiri negosiasi sebelum meninggalkan lokasi di mana ia
mengambil tempat (Khyar Majlis),
(ii) jika pembeli tidak melihat komoditas dan setelah melihat itu ditemukan tidak dapat diterima (Khyar Rou'yah), (iii) jika salah satu penjual atau pembeli menemukan bahwa produk tersebut baik telah dijual kurang
dari, atau dibeli untuk tinggi dibandingkan, itu layak, (iv) jika pembeli menemukan bahwa
kualitas produk adalahtidak seperti yang diharapkan (Khyar Qashsh), (v) jika kondisi sisi yang ditentukan selama negosiasi yang ditinggalkan terpenuhi (Khyar Shart), (vi) jika jangka waktu
pengiriman ditentukan namun produk tersebut tidak disampaikan tepat
waktu (Khyar Moddah), dan (vii) ketika subyek negosiasi paket hewan, pembeli memiliki hak
untuk mengembalikan hewan sampai tiga hari setelah kesepakatan itu diselesaikan
(Khyar Haywan) (Rehman & Askari,
2005:8).
Menurut Islam, seperti yang disampaikan baik dalam
Al-Quran dan Hadist, terdapat urutan-urutan yang kuat untuk standar moral yang tinggi, etika,
nilai-nilai dan norma perilaku, yang mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi (Rehman & Askari,
2010:9). Orang yang
beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rasul-Nya akan tetapi mereka
mentaatinya lahir maupun batin termasuk mengakui
bahwa korupsi dan praktik korup lainnya tidak Islami dan dikutuk dalam Islam.
Bisnis merupakan salah satu
aspek kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Sebagai makhluk, manusia harus
memenuhi kebutuhannya melalui proses-proses tertentu. Bisnis merupakan kegiatan ekonomi yang
dilakukan manusia sebagai homo economicus untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kegiatan bisnis secara global meliputi jual-beli, produksi dan jasa
melibatkan banyak pihak untuk dapat mencapai tingkat keberhasilan.
Ajaran Islam memberikan
petunjuk dasar berkenaan dengan masalah pokok praktik bisnis tersebut. Menurut kode etik bisnis dan perdagangan serta telah
dikatakan bahwa Nabi Muhammad menciptakan pasar pertama di Arabia, dimana penataan
operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip di dalam Al-Quran sehingga keadilan
berlaku dalam pertukaran dan perdagangan (Rehman & Askari, 2010:9).
Ajaran Islam turut mengatur masalah hak milik sebagai
hasil produksi dimana jelas menetapkan prioritas kepentingan masyarakat dalam produksi, pertukaran dan konsumsi. Oleh penulis, ajaran tersebut dibagi ke dalam tiga prinsip, yakni hak
milik bersifat permanen, konstan dan kepemilikan properti invarian bersumber
dari Allah (Rehman & Askari, 2010:10). Berikutnya, mengakui Al-Qur’an dari
Allah dan hak kepemilikan diberikan untuk semua umat manusia serta prinsip
ketiga, yakni mengakui kesempatan yang sama akses sumber daya alam sebagai
pemberian dari Allah untuk memproduksi barang dan jasa (Rehman & Askari,
2010:10).
Ajaran Islam
berupaya meningkatkan tenaga kerja, produksi, dan perdagangan ekonomi, dan melarang
korupsi, menekan kemiskinan, dan meningkatkan kestabilan sosial atau politik
dan ekonomi dimana kesemuanya diperkuat Hadis yang mengatakan Nabi Muhammad menekankan
kerja produktif dan ia menggunakan public
treasury untuk mengurangi kemiskinan, tidak menyarankan kemalasan dan
ketergantungan bagi yang berbadan sehat (Rehma & Askari, 2010:11). Islam mengajarkan untuk
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggung jawab terhadap
kelancaran dan kemajuan kepentingan seluruh umat, karena kewajiban bekerja
bukan hanya memenuhi kebutuhan material saja, melainkan tugas hidup sebagai
manusia dan sekaligus tugas pengabdian (ibadah) kepada Allah.
Judul berikutnya yakni “An
Islamicity Index” yang membahas secara mendalam masalah metodologi dari indeks
keislaman yang dikembangkan penulis. Penulis membuat jurnal ini berangkat
dari premis yakni mengenai agama berdampak pada ekonomi, politik, atau kinerja
sosial ataukah ekonomi, politik, atau kinerja sosial kinerja yang memberikan
dampak pada agama dengan pertanyaan "Bagaimana Islam di negara-negara Islam
atau Apa derajat untuk mengetahui "keislaman”? (Rehman & Askari,
2010:13). Penulis berupaya untuk melihat prinsip-prinsip Islam meliputi (a)
pasar bebas dan kinerja kuat ekonomi, (b) pemerintah yang baik dan supremasi
hukum, (c) masyarakat dengan hak asasi manusia dan sipil terbentuk dengan baik
dan adanya kesetaraan, serta (d) hubungan cordial dan kontribusi berarti bagi
masyarakat global (Rehman & Askari, 2010:13).
Penulis
menetapkan dalam membentuk IslamicityIndex (I2) maka bisa diketahui
melalui empat indeks individu sebagai berikut, (1) Ekonomi IslamicityIndex (EI2), (2) Hukum dan Pemerintahan IslamicityIndex (LGI2), (3)
Hak Asasi Manusia dan Politik IslamicityIndex (HPI2), dan (4) Hubungan
Internasional IslamicityIndex (IRI2).
Dengan empat di atas indeks gabungan kita membuat IslamicityIndex penulis, yakni I2 = (EI2)
+ (LGI2)
+ (HPI2)
+ (IRI2)
(Rehman & Askari, 2010:13-14).
EI2 menentukan peringkat
swadeklarasi negara-negara Islam apakah
dalam menjalankan kebijakan, prestasi, dan realitas sesuai
dengan seperangkat prinsip ekonomi Islam
dimana esensi ekonomi Islam diwujudkan dalam tiga tujuan
dasar, yakni tercapainya keadilan ekonomi dan pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kemudian
memiliki basis luas untuk kemakmuran, dan penciptaan pekerjaan serta penerapan
praktek-praktek ekonomi dan keuangan Islam (Rehman & Askari, 2010:14). LGI2 merupakan upaya untuk mengkover hukum dan pemerintahan lingkungan suatu negara
untuk mengukur tingkat efektivitas dan kompetensi tata kelola pemerintahan dan integritas hukum (termasuk tingkat campur tangan militer)
(Rehman & Askari, 2010:16).
Indeks HPI2 merupakan upaya untuk mengukur
derajat manusia dan hak politik pada 208 negara dengan menggunakan pengukuran khusus
untuk sipil dan hak politik, hak-hak
perempuan, hak-hak lain, risiko politik, dan pencegahan genosida (Rehman & Askari, 2010:16). Indeks IRI2 untuk mengukur hubungan negara dan
masyarakat global dalam kontribusi kepada lingkungan, globalisasi,
keterlibatan militer, dan risiko negara secara keseluruhan (Rehman &
Askari, 2010:17).
Judul berikutnya yakni, “Result of The IslamicityIndex” yang
mengulas mengenai hasil dari penciptaan Indeks keislaman. Menurut penulis,
negara-negara OECD tampil lebih baik dalam pengukuran indeks dengan menerapkan
prinsip Islam secara kompatibel dan juga mempromosikan pasar bebas serta tata
kelola ekonomi baik, kebijakan ekonomi sosial, sistem hukum dan tata
pemerintahan yang ada berjalan adil (Rehman & Askari, 2010:19).
Memasuki kesimpulan, penulis
menguraikan apa yang mereka yakini sebagai ajaran Islam yang kemudian menjadi
pedoman bagi umat Islam dan sistem ekonomi Islam. Ajaran-ajaran ini bukan hanya
sekedar praktek dari individu yang dilabeli Muslim melainkan harus menjadi
dasar untuk menilai suatu pretensi masyarakat untuk keislamannya.
Namun penulis mengakui bahwa hasil
dalam pengembangan IslamicityIndex
masih sangat awal dalam menunjukkan negara-negara Islam tidak Islami dalam
praktek mereka seperti yang diharapkan, sebaliknya negara-negara maju cenderung
menduduki posisi lebih tinggi pada IslamicityIndex.
Penulis berkeyakinan hal ini dikarenakan masalah-masalah yang muncul dari
negara-negara berkembang sehingga berdampak pada melemahnya perekonomian,
politik, keuangan, hukum dan sosial sehingga lembaga yang ada tidak efisien. Selanjutnya,
penulis membuka diri terhadap hasil yang telah diperoleh mengingat penelitian
dan pengembangan IslamicityIndex
tidak hanya memerlukan data tambahan
untuk variabel yang mewakili
prinsip-prinsip Islam, tetapi juga
membutuhkan perbaikan yang luas
dalam metodologi.
Intinya, penulis mengakui doktrin dalam
Islam bahwa bekerja merupakan ibadah berimplikasi pada banyak hal. Dengan
bekerja, manusia dapat melanjutkan kehidupan dalam menjalankan amanat Allah,
menjaga dirinya serta dapat merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar
seperti yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikian juga dapat memenuhi
kebutuhannya, keluarga dan masyarakat dan merupakan tindakan yang sangat
terpuji. Hadits juga menganjurkan nilai-nilai yang mendorong bekerja. Dalam kondisi
normal, manusia diwajibkan untuk bekerja dan tidak diperkenankan menjadi beban
orang lain dalam perekonomian.
Anjuran bekerja secara produktif
merupakan doktrin yang asasi sebagai lawan pengangguran dan meminta-minta.
Banyak juga periwayatan hadits dan pendapat sahabat yang mencela pengangguran
ekonomi. Kehidupan muslim yang baik sangat identik dengan keteraturan penggunaan
waktu, baik untuk menjalankan aspek ibadah maupun untuk bekerja.
Secara mendasar, Al-Qur’an menentang
tindakan malas, menyia-nyiakan waktu dan melakukan hal-hal yang tidak
produktif. Bekerja merupakan tindakan kongkrit manusia yang dapat memberikan status
keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat, karena segala sesuatunya akan
dinilai berdasarkan proses kerja kemanusiaan. Inilah yang bisa menjadi
pendorong perekonomian suatu negara menjadi lebih baik.
Referensi :
Rehman, Scheherazade
and Hossein Askari (2010) “How Islamic are Islamic Countries?”, Global Economy
Journal, Vol 10, Art. 2, Iss. 2
0 komentar:
Posting Komentar