Pages

Labels

Selasa, 12 Maret 2013

Teori-Teori Sosial


UJIAN AKHIR SEMESTER
SEMINAR MEDIA DAN TEORI-TEORI SOSIAL

Resume
Journal How Islamic are Islamic Countries?

Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ajaran Islam adalah ajaran yang mencakup semua ranah aktivitas manusia dari yang remeh-temeh hingga urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya.
Jika Islam adalah agama dan membicarakan masalah hubungan agama dengan negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Karena akhirnya kita dapat mengetahui agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Pembahasan lebih mendalam mengenai hubungan antara agama dan negara bisa dipelajari dalam jurnal “How Islamic are Islamic Countries?”. Jurnal yang mengawali pembahasannya dengan pertanyaan penting dan berhati-hati dalam memposisikan agama yang harus dipandang sebagai variabel dependen ataukah variabel indenpenden (dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010). Dalam jurnal tersebut, Rehman dan Askari pun membenarkan bahwa agama dan negara dua hal yang saling berkaitan dengan mengangkat isu 9 September 2001, dimana pasca peristiwa tersebut membawa dampak yang berporos pada religiusitas, yakni agama mempengaruhi sisi kehidupan bernegara ataukah sebaliknya (dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010).
Selain itu, kedua penulis juga merangkum permasalahan dalam abtraksinya seputar esensi keberanggotaan OIC untuk memperkirakan hubungan antara Islam dan negara (dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010). Pertanyaaan-pertanyaan tersebut dibahas dalam dua bagian, yakni bagian pertama yang menjelaskan secara ringkas mengenai karakteristik dan fondasi negara Islam menurut penulis dan bagian kedua, penulis mengembangkan instrumen untuk mengukur keislaman negara Islam dan non Islam (dalam abstraksi Rehman & Askari, 2010).
Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang ingin dikupas mendalam oleh Rehman dan Askari dalam Jurnal “How Islamic are islamic Countries?”. Jurnal tersebut memiliki pembahasan yang terbagi dalam tujuh judul dan diawali dengan abtraksi sebagai rangkuman dari keseluruhan bagian jurnal yang telah disebutkan di atas.
Judul pertama yang mengawali pembahasan kedua penulis dalam jurnal mereka yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” yakni “Introduction”. Dalam judul kali ini, penulis mengutarakan berbagai temuan-temuan dari ahli akademik dalam menilai korelasi antara agama dengan ekonomi, keuangan, pembangunan sosial, hukum, dan politik negara. Seperti yang dilakukan oleh akademisi Bernard Lewis dan Robert Barro untuk menilai hubungan antara agama dan ekonomi, hukum, dan pembangunan sosial negara (dalam Rehman & Askari, 2010:1).
Meski demikian, penulis menilai penelitian-penelitian yang dilakukan para sosiolog sebelumnya penuh dengan keterbatasan dalam menyelidiki korelasi antara agama dan ekonomi, hukum, serta pembangunan sosial negara (dalam Rehman & Askari, 2010:1). Penulis menganggap bahwa penelitian sebelumnya menilai Islam hanya dari subjek yang dilabeli sebagai Muslim dan bukan oleh pesan sebenarnya dari Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam Rehman dan Askari, 2010:1).
Penulis setuju ada keseragaman polemik yang muncul dari setiap akademisi dalam penelitian mereka untuk melihat korelasi antara agama dan kinerja ekonomi, yakni bagaimana memposisikan agama, sebagai variabel indenpenden ataukah sebagai variabel dependen. Sebelum meneliti lebih dalam, peneliti harus memastikan posisi agama untuk menilai korelasi antara Islam dan kinerja ekonomi, standar hidup, dan pembangunan pada umumnya sehingga tidak memunculkan perdebatan baru.
Jurnal “How Islamic are Islamic Countries?” memiliki dua tujuan dalam penelitiannya, yakni untuk memeriksa apa yang diyakini sebagai ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam membentuk kebijakan negara yang dicap sebagai "Islam", dan mengusulkan langkah awal untuk melihat sejauh mana kepatuhan terhadap ajaran agama dan doktrin di negara-negara yang diberi label sebagai Islam dengan mengembangkan IslamicityIndex (I2) (dalam Rehman dan Askari, 2010:2). Idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam menjadi pedoman hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan.
Memasuki judul berikutnya yakni, “Measuring Islamicity”. Dalam judul ini, penulis mengembangkan indeks Islamicity di mana dalam pengembangan indeks tersebut penulis melihat dan membandingkannya ke berbagai standar, baik dengan 208 negara di dunia, negara-negara OIC, maupun standar Barat, yang didokumentasikan dalam berbagai indeks ranking terkenal, dan tentu saja juga dengan yang diyakini sebagai standar Islam (dalam Rehman & Askari, 2010:3).
Meski demikian, pada judul kali ini ternyata kekhawatiran penulis sama dengan yang tersirat pada judul sebelumnya. Penulis menitikberatkan perlunya kehati-hatian dalam menilai Islam. Pertanyaan apapun yang muncul memiliki kadar dan kebutuhan berbeda untuk setiap penelitian meski tema dan topiknya sama, yakni menilai Islam.
Pembahasan selanjutnya diberi judul “Islamic Teaching and The Islamicity Index” yang  diperdalam dengan subjudul “Nature of Islamic Teachings”. Dalam judul kali ini, penulis membahas mengenai ajaran Islam dimana dari ajaran ini akhirnya mengerucut pada permasalahan yang terdapat di pembahasan dalam judul-judul sebelumnya, yakni mengenai derajat keislaman suatu negara maupun subjeknya yang disebut Muslim. Penulis mengawalinya dengan pertanyaan “Bagaimana Islam di negara Islam dan apa ukuran dari keislaman tersebut”, inilah yang mengantarkan kita untuk memasuki pembahasan kali ini (Rehman & Askari, 2010:3-4).
Islam bukan semata penyerahan dan perendahan yang disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
Untuk mengetahui derajat keislaman suatu negara Islam ataupun seorang Muslim, penulis berkeyakinan hal tersebut bisa ditelisik dari ajaran-ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam menjadi pedoman dalam pengembangan indeks dan penulis sepakat sifat ajaran Islam yang berbasis  aturan eksplisit ternyata mampu menghasilkan aturan dan pedoman rinci bagi ekonomi dan sistem pemerintahan yang sukses, penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan memilih dan perlindungan di bawah kode hukum tertentu, serta mengelola hubungan eksternal (dengan non-Muslim) (Rehman & Askari, 2010:4). Dari sifat ajaran islam yang memiliki pedoman rinci tersebutlah, akhirnya penulis berkesimpulan lebih mudah untuk menciptakan Indeks keislaman dibandingkan dengan membangun sebuah "Indeks Katolisitas”.
Penulis memiliki alasan kuat dalam penarikan kesimpulan ini. Penulis menjelaskan bahwa ajaran Islam yang dilandasi Al-Qur’an dan Hadist telah mencakup Ijma (mujtahid dan Qiyas), yakni pendapat berdasarkan doktrin dan analogi agama (Rehman & Askari, 2010:4). Dimana Ijma tersebut menjelaskan secara rinci dan menjadi pedoman serta aturan dalam menjalankan pekerjaan, yang berbasis pasar ekonomi, berbagi, persaingan, perpajakan, keuangan pemerintah, perilaku lembaga keuangan, pemberantasan kemiskinan, pengeluaran sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan, distribusi pendapatan, kepemilikan swasta, aturan hukum, kesucian kontrak, pengelolaan sumber daya alam dan pergaulan terhadap non-Muslim, warisan dan perawatan anak, tata pemerintahan yang baik, sedekah kepada orang miskin, hak-hak sipil laki-laki dan perempuan (Rehman & Askari, 2010:4).
Dari Ijma ini, penulis akhirnya membagi ajaran Islam ke dalam lima bidang sesuai kebutuhan pengembangan indeks keislaman meski akhirnya bidang pertama tidak ditafsirkan untuk penciptaan indeks keislaman karena esensinya mengatur hubungan dengan Tuhan dan perbuatan manusia. Keempat bagian lainnya yakni, mengenai sistem ekonomi yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan keadilan sosial, selanjutnya sistem hukum, pemerintahan dan hak asasi, kemudian hubungan manusia dengan politik, dan yang terakhir menyangkut hubungan internasional (terutama yang dengan non-Muslim) (Rehman & Askari, 2010:5).Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Muhammad pada masa mudanya adalah seorang pedagang yang menjualkan barang-barang milik seorang pemilik barang yang kaya, yaitu Khadijah. Keberhasilan dan kejujuran Nabi dibuktikan dengan ketertarikan sang pemilik modal hingga kemudian menjadi istri Nabi. Termasuk pekerjaan berdagang atau berniaga yang diungkapkan dalam Al-Qur'an sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian yang baik.
Pembahasan berikutnya merupakan rangkuman mengenai ajaran Islam atas jual-beli yang menumbuhkan perekonomian sehat, efisien serta kompetitif dimana kali ini diberi judul “A Summary of Islamic Teachings to Measure Islamicity”. Berdagang dalam pandangan Islam merupakan bagian dari muamalah antar manusia yang dapat menjadi amal saleh bagi kedua pihak, baik pedagang maupun pembeli, jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan apa yang dilakukannya bukan hal yang terlarang. Berdagang dalam Islam diarahkan agar para pihak yang melakukan merasa senang dan saling menguntungkan, karena itu faktor-faktor yang dapat menimbulkan perselisihan dan kerugian masing-masing pihak, harus dihindarkan. Untuk itu Islam mengajarkan agar perdagangan itu diatur dalam administrasi dan pembukuan yang tertib.
Islam merupakan  penerimaan dan penyerahan diri kepada Tuhan, dan umat Muslim harus menunjukkan ini dengan keyakinan hanya kepada-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme seperti yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul. Perlakuan baik dan buruk seorang Muslim selalu ada ganjaran dari Allah dimana empat dasar konsep mendukung sistem berbasis aturan Islam ini, di antaranya walayahh, karamah, meethaq dan khilafah. Dalam pembahasannya, melalui keempat konsep dasar tersebut, penulis mengungkapkan bagaimana praktik jual-beli yang berkeadilan dan mendorong tumbuhnya perekonomian yang sehat.
Walayahh mengisyaratkan cinta Allah kepada ciptaan-Nya dimanifestasikan melalui tindakan penciptaan dan ketentuan rezeki. Inti dari konsep dasar walayahh adalah kasih yang diwujudkan melalui pengetahuan dan penegakan keadilan (Rehman & Askari, 2010:5). Konsep selanjutnya yakni karamah dimana Al-Qur’an menganggap manusia sebagai bagian dari pencapaian terbesar penciptaan Allah yang telah diberkahi dengan kecerdasan untuk mengetahui ke Esa-an Allah, mengakui dan menghargai alam semesta serta segala sesuatu di dalamnya dan memahami alasan keberadaan mereka sendiri yang seutuhnya bergantung pada kehendak Allah (Rehman & Askari, 2010:5). Manusia bahkan bebas untuk memilih agama mereka sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an, tidak boleh ada penyesalan dalam agama (Al-Quraisy 2:256 dalam Rehman & Askari, 2010:5).
Selanjutnya konsep meethaq, merupakan perjanjian primordial manusia untuk bersaksi bahwa mereka mengakui Ke-Esa-an Allah, sementara konsep terakhir adalah dari khilafah atau lembaga-amanah (Rehman & Askari, 2010:6). Penulis berkeyakinan bahwa konsep dasar tersebut terinternalisasi dalam aturan yang mengatur perilaku partisipasi pasar dan menumbuhkan kepatuhan berdampak pada mekanisme menjadi efisien untuk menciptakan keseimbangan dalam perekonomian (Rehman & Askari, 2010:6). Esensi dari masyarakat Islam adalah bahwa aturan yang ada berpusat pada konsep keadilan (Al'adl) untuk mencapai pemerataan kekayaan dan sumber daya meliputi: a)  pembinaan etika dan nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran kesetaraan, b) alat dan instrumen ekonomi seperti zakat, sedekah, dan warisan dan hukum properti, dan terakhir c) pengembangan kapasitas kelembagaan dan kemauan politik untuk memastikan bahwa prinsip dan norma-norma ini ditegakkan secara memadai (Rehman & Askari, 2010:7). Panggilan hukum Islam jelas, yakni untuk transparansi dan kebebasan pasar yang berkeadilan, komersial dan menganut etika bisnis sebagai standar dasar kegiatan ekonomi dimana setelah penaklukan Mekkah dan seluruh Arabia, aturan yang mengatur pasar dan peserta dilembagakan dan diterapkan untuk umum termasuk pasar di Saudi.
Dalam empat konsep dasar ini berkembang istilah-istilah yang merupakan aturan seperti ihtikar, ta'seer, najsh, tatfeef, Khyar Majlis, Khyar Rou'yah, Khyar Qashsh, Khyar Shart, Khyar Moddah dan Khyar Haywan. Bunyi masing-masing isltilah tersebut sebagai berikut, ihtikar yakni pelarangan penimbunan komoditas dan produktif sumber daya untuk tujuan mendorong harga, pelarangan kontrol harga (Ta'seer), larangan penjual atau pembeli merugikan kepentingan pelaku pasar lainnya, misalnya, dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengganggu negosiasi antara dua pihak (disebut najsh) untuk mempengaruhi negosiasi untuk kepentingan salah satu pihak, dan larangan perubahan singkat pembeli, misalnya, dengan tidak memberikan bobot penuh dan ukuran (tatfeef) (Rehman & Askari, 2005:8).
Selain itu, penjual dan pembeli diberi hak pembatalan kesepakatan, seperti (i) penjual dan pembeli bisa mengakhiri negosiasi sebelum meninggalkan lokasi di mana ia mengambil tempat (Khyar Majlis), (ii) jika pembeli tidak melihat komoditas dan setelah melihat itu ditemukan tidak dapat diterima (Khyar Rou'yah), (iii) jika salah satu penjual atau pembeli menemukan bahwa produk tersebut baik telah dijual kurang dari, atau dibeli untuk tinggi dibandingkan, itu layak, (iv) jika pembeli menemukan bahwa kualitas produk adalahtidak seperti yang diharapkan (Khyar Qashsh), (v) jika kondisi sisi yang ditentukan selama negosiasi yang ditinggalkan terpenuhi (Khyar Shart), (vi) jika jangka waktu pengiriman ditentukan namun produk tersebut tidak disampaikan tepat waktu (Khyar Moddah), dan (vii) ketika subyek negosiasi paket hewan, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan hewan sampai tiga hari setelah kesepakatan itu diselesaikan (Khyar Haywan) (Rehman & Askari, 2005:8).
Menurut Islam, seperti yang disampaikan baik dalam Al-Quran dan Hadist, terdapat urutan-urutan yang kuat untuk standar moral yang tinggi, etika, nilai-nilai dan norma perilaku, yang mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi (Rehman & Askari, 2010:9). Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rasul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin termasuk mengakui bahwa korupsi dan praktik korup lainnya tidak Islami dan dikutuk dalam Islam.
Bisnis merupakan salah satu aspek kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Sebagai makhluk, manusia harus memenuhi kebutuhannya melalui proses-proses tertentu. Bisnis merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia sebagai homo economicus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan bisnis secara global meliputi jual-beli, produksi dan jasa melibatkan banyak pihak untuk dapat mencapai tingkat keberhasilan.
Ajaran Islam memberikan petunjuk dasar berkenaan dengan masalah pokok praktik bisnis tersebut. Menurut kode etik bisnis dan perdagangan serta telah dikatakan bahwa Nabi Muhammad menciptakan pasar pertama di Arabia, dimana penataan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip di dalam Al-Quran sehingga keadilan berlaku dalam pertukaran dan perdagangan (Rehman & Askari, 2010:9).
Ajaran Islam turut mengatur masalah hak milik sebagai hasil produksi dimana jelas menetapkan prioritas kepentingan masyarakat dalam produksi, pertukaran dan konsumsi. Oleh penulis, ajaran tersebut dibagi ke dalam tiga prinsip, yakni hak milik bersifat permanen, konstan dan kepemilikan properti invarian bersumber dari Allah (Rehman & Askari, 2010:10). Berikutnya, mengakui Al-Qur’an dari Allah dan hak kepemilikan diberikan untuk semua umat manusia serta prinsip ketiga, yakni mengakui kesempatan yang sama akses sumber daya alam sebagai pemberian dari Allah untuk memproduksi barang dan jasa (Rehman & Askari, 2010:10).
Ajaran Islam berupaya meningkatkan tenaga kerja, produksi, dan perdagangan ekonomi, dan melarang korupsi, menekan kemiskinan, dan meningkatkan kestabilan sosial atau politik dan ekonomi dimana kesemuanya diperkuat Hadis yang mengatakan Nabi Muhammad menekankan kerja produktif dan ia menggunakan public treasury untuk mengurangi kemiskinan, tidak menyarankan kemalasan dan ketergantungan bagi yang berbadan sehat (Rehma & Askari, 2010:11). Islam mengajarkan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggung jawab terhadap kelancaran dan kemajuan kepentingan seluruh umat, karena kewajiban bekerja bukan hanya memenuhi kebutuhan material saja, melainkan tugas hidup sebagai manusia dan sekaligus tugas pengabdian (ibadah) kepada Allah.
Judul berikutnya yakni “An Islamicity Index” yang membahas secara mendalam masalah metodologi dari indeks keislaman yang dikembangkan penulis. Penulis membuat jurnal ini berangkat dari premis yakni mengenai agama berdampak pada ekonomi, politik, atau kinerja sosial ataukah ekonomi, politik, atau kinerja sosial kinerja yang memberikan dampak pada agama dengan pertanyaan "Bagaimana Islam di negara-negara Islam atau Apa derajat untuk mengetahui "keislaman”? (Rehman & Askari, 2010:13). Penulis berupaya untuk melihat prinsip-prinsip Islam meliputi (a) pasar bebas dan kinerja kuat ekonomi, (b) pemerintah yang baik dan supremasi hukum, (c) masyarakat dengan hak asasi manusia dan sipil terbentuk dengan baik dan adanya kesetaraan, serta (d) hubungan cordial dan kontribusi berarti bagi masyarakat global (Rehman & Askari, 2010:13).
Penulis menetapkan dalam membentuk IslamicityIndex (I2) maka bisa diketahui melalui empat indeks individu sebagai berikut, (1) Ekonomi IslamicityIndex (EI2), (2) Hukum dan Pemerintahan IslamicityIndex (LGI2), (3) Hak Asasi Manusia dan Politik IslamicityIndex (HPI2), dan (4) Hubungan Internasional IslamicityIndex (IRI2). Dengan empat di atas indeks gabungan kita membuat IslamicityIndex penulis, yakni I2 = (EI2) + (LGI2) + (HPI2) + (IRI2) (Rehman & Askari, 2010:13-14).
EI2 menentukan peringkat swadeklarasi negara-negara Islam apakah dalam menjalankan kebijakan, prestasi, dan realitas sesuai dengan seperangkat prinsip ekonomi Islam dimana esensi ekonomi Islam diwujudkan dalam tiga tujuan dasar, yakni tercapainya keadilan ekonomi dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kemudian memiliki basis luas untuk kemakmuran, dan penciptaan pekerjaan serta penerapan praktek-praktek ekonomi dan keuangan Islam (Rehman & Askari, 2010:14). LGI2 merupakan upaya untuk mengkover hukum dan pemerintahan lingkungan suatu negara untuk mengukur tingkat efektivitas dan kompetensi tata kelola pemerintahan dan integritas hukum (termasuk tingkat campur tangan militer) (Rehman & Askari, 2010:16).
Indeks HPI2 merupakan upaya untuk mengukur derajat manusia dan hak politik pada 208 negara dengan menggunakan pengukuran khusus untuk sipil dan hak politik, hak-hak perempuan, hak-hak lain, risiko politik, dan pencegahan genosida (Rehman & Askari, 2010:16). Indeks IRI2 untuk mengukur hubungan negara dan masyarakat global dalam kontribusi kepada lingkungan, globalisasi, keterlibatan militer, dan risiko negara secara keseluruhan (Rehman & Askari, 2010:17).
Judul berikutnya yakni, “Result of The IslamicityIndex” yang mengulas mengenai hasil dari penciptaan Indeks keislaman. Menurut penulis, negara-negara OECD tampil lebih baik dalam pengukuran indeks dengan menerapkan prinsip Islam secara kompatibel dan juga mempromosikan pasar bebas serta tata kelola ekonomi baik, kebijakan ekonomi sosial, sistem hukum dan tata pemerintahan yang ada berjalan adil (Rehman & Askari, 2010:19).
Memasuki kesimpulan, penulis menguraikan apa yang mereka yakini sebagai ajaran Islam yang kemudian menjadi pedoman bagi umat Islam dan sistem ekonomi Islam. Ajaran-ajaran ini bukan hanya sekedar praktek dari individu yang dilabeli Muslim melainkan harus menjadi dasar untuk menilai suatu pretensi masyarakat untuk keislamannya.
Namun penulis mengakui bahwa hasil dalam pengembangan IslamicityIndex masih sangat awal dalam menunjukkan negara-negara Islam tidak Islami dalam praktek mereka seperti yang diharapkan, sebaliknya negara-negara maju cenderung menduduki posisi lebih tinggi pada IslamicityIndex. Penulis berkeyakinan hal ini dikarenakan masalah-masalah yang muncul dari negara-negara berkembang sehingga berdampak pada melemahnya perekonomian, politik, keuangan, hukum dan sosial sehingga lembaga yang ada tidak efisien. Selanjutnya, penulis membuka diri terhadap hasil yang telah diperoleh mengingat penelitian dan pengembangan IslamicityIndex tidak hanya memerlukan data tambahan untuk variabel yang mewakili prinsip-prinsip Islam, tetapi juga membutuhkan perbaikan yang luas dalam metodologi.
Intinya, penulis mengakui doktrin dalam Islam bahwa bekerja merupakan ibadah berimplikasi pada banyak hal. Dengan bekerja, manusia dapat melanjutkan kehidupan dalam menjalankan amanat Allah, menjaga dirinya serta dapat merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar seperti yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikian juga dapat memenuhi kebutuhannya, keluarga dan masyarakat dan merupakan tindakan yang sangat terpuji. Hadits juga menganjurkan nilai-nilai yang mendorong bekerja. Dalam kondisi normal, manusia diwajibkan untuk bekerja dan tidak diperkenankan menjadi beban orang lain dalam perekonomian.
Anjuran bekerja secara produktif merupakan doktrin yang asasi sebagai lawan pengangguran dan meminta-minta. Banyak juga periwayatan hadits dan pendapat sahabat yang mencela pengangguran ekonomi. Kehidupan muslim yang baik sangat identik dengan keteraturan penggunaan waktu, baik untuk menjalankan aspek ibadah maupun untuk bekerja.
Secara mendasar, Al-Qur’an menentang tindakan malas, menyia-nyiakan waktu dan melakukan hal-hal yang tidak produktif. Bekerja merupakan tindakan kongkrit manusia yang dapat memberikan status keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat, karena segala sesuatunya akan dinilai berdasarkan proses kerja kemanusiaan. Inilah yang bisa menjadi pendorong perekonomian suatu negara menjadi lebih baik.

Referensi :
Rehman, Scheherazade and Hossein Askari (2010) “How Islamic are Islamic Countries?”, Global Economy Journal, Vol 10, Art. 2, Iss. 2

0 komentar:

Posting Komentar

 

WARNING!!!

PLEASE DON'T DO PLAGIARISM CAUSE IT'S NO INDONESIAN!!!