Pages

Labels

Selasa, 12 Maret 2013

Filsafat dan Etika Komunikasi


Ujian Akhir Semester
Filsafat dan Etika Komunikasi
Prof. Alois A. Nugroho



1. Gary Radford menyebut pandangan komunikasi sebagai transmisi dengan kata rezim, mengikuti postmodernis Thomas Kuhn dan Michel Foucault. Cristopher Simpson juga menyatakan bahwa ilmu komunikasi berkembang searah dengan kepentingan kekuasaan. Jelaskan!
Pandangan komunikasi sebagai transmisi dengan kata rezim mengandung unsur kekuasaan karena komunikasi sebagai rezim transmisi merupakan mazhab pemikiran dominan (Nugroho, 1 November 2012). Dimana paradigma dominan menekankan rasionalitas, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/sistematis, universalitas tunggal, dan kurang menghargai pengalaman subyektif intituitif serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya (Neuman, 2006:95,117).  Modernisme ini melihat pengetahuan sebagai pengontrol yang berada di dalam kekuasaan (value free). Sehingga orang yang memiliki pengetahuan akan memiliki kekuasaan meresapi semangat modernisme (Bacon dalam Nugroho, 2012:2).
Selain itu, unsur kekuasaan dalam rezim komunikasi bukan dalam artian penindasan di sebuah komunitas melainkan para partisipannya melakukan “role” sesuai aturan. Dalam ilmu komunikasi, rezim komunikasi mendasari diri pada estimologi John Locke, yakni bahwa komunikasi merupakan proses transmisi dan efektifitas komunikasi merupakan ketidaksempurnaan yang harus diupayakan sempurna (Radford, 2005:22-23). Sehingga kata rezim seyogyanya menyiratkan paradigma Laswell yang menjelaskan komponen sender (encode), message, channel, receiver (decode) (Radford, 2005:2). Artinya komunikasi terbatas, dimana sebuah pesan (ide) dikirim dari komunikator kepada komunikan dan mencapai efektifitas.
Seiring perkembangan paradigma abad ke 20, maka saat ini adalah gerbang bagi postmodernis dimana semangat zaman ini merupakan pembalikan dari anggapan Bacon (Nugroho, 2012:2). Postmodernis mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu (Neuman, 2006:118). Singkatnya, postmodernis adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Dalam perkembangannya, postmodernis berangkat dari pemikiran dari postmodernis yang dasarnya adalah tidak ada kebenaran yang absolut yang ada adalah kebenaran relatif.
Sementara itu, Kuhn memandang ilmu bukan merupakan upaya dalam menemukan objektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku (http://userperpustakaan. blogspot.com/2011/04/ pemikiran-thomas-kuhn.html). Kuhn memakai istilah paradigma untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu dimana paradigma sendiri berkaitan erat dengan ilmu normal (normal science).
Terkait dengan pandangan Kuhn, maka rezim transmisi merupakan sebuah paradigma (normal science) yang ditandai oleh kekuasaan (Nugroho dalam Deskripsi Mata Kuliah Magister). Keberadaan rezim transmisi memenuhi syarat sebagai ilmu modern karena bersifat atomistis, objektif, mekanistis dan matematis (Nugroho dalam kuliah Filsafat Komunikasi 25 Oktober 2012).
Bersifat atomistis karena komunikasi dianalisis menjadi sesuatu yang lebih kecil (dibreakdown) dan bersifat objektif karena konsep ketidaksadaran diminta bantuan untuk menegakkan ilmu komunikasi (Ibid., 25 Oktober 2012). Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kuhn telah menaruh perhatian besar pada “normalitas” yang dari kerja ilmu pengetahuan dan perubahan antara normalitas satu ke normalitas lain (anomali) atau biasa dikenal sebagai scientific revolution (perubahan paradigma).
Di mana perubahan paradigma tersebut bersifat “incommensurable” sampai tingkat tertentu, tidak ada kebenaran yang bersifat universal dan pemaknaan terletak pada subjek sehingga rezim komunikasi di sini terpatahkan. Maka, komponen source tidak penting lagi dalam paradigma komunikasi (normalitas). Meski demikian, “recalcitrant data” baru dianggap anomali bila diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam normalitas ilmiah tersebut (dalam Nugroho, 2012:4). Sebenarnya Kuhn sudah sedikit menyinggung peranan kekuasaan dalam normalitas ilmiah, dimana buku teks diobservasi sebagai salah satu sarana untuk memasukan siswa atau mahasiswa ke dalam normalitas ilmiah tertentu (Ibid., hlm.4). Meski demikian, nuansa kekuasaan yang juga menyiratkan normalitas pada “rezim pengetahuan” maupun “rezim komunikasi” bisa ditangkap dengan baik.
Novel 1984 yang dibahas pada chapter 6 buku Radford yang berjudul “The Philosophy of Communication” telah mengilustrasikan bagaimana kita terdidik dalam rezim komunikasi sebagai transmisi harus mempelajari paradigma-paradigma yang lain, seakan-akan komunikasi sebagai extraordinary science (rezim transmisi ke hermeneutika, ke fenomenologi).
Oleh beberapa tokoh, pandangan Kuhn dapat disejajar dengan paradigma pandangan Foucoult. Dimana Foucoult mengkaitkan pembentukan pengetahuan dan relasi kekuasaan dan sering diasosiasikan dengan semboyan “Pouvoir est savoir”, komunitas yang memiliki kekuasaan efektif menentukan perkembangan pengetahuan dan kebenaran (Ibid., hlm.2).
Bagi Foucoult, kekuasaan menentukan pengetahuan dengan merumuskan ide-ide diskursus yang memungkinan pembedaan proposisi yang benar dan yang salah sehingga bisa disimpulkan bahwa “kuasa” bukan dimaksudkan sebagai “milik” melainkan fungsi dan praktik. Foucolut juga berusaha untuk memperlakukan apa yang dikatakan dalam ilmu manusia sebagai “objek wacana” (Drefus & Rabinow dalam Radford, 2005:7). Dimana akhirnya, Radford akan mengikuti Foulcoult, memulai dan melihat rezim komunikasi (transmisi) sebagai objek wacana sehingga dalam memahami wacana komunikasi perlu menyisihkan yang menjadi “apa” (konsep/kata/gagasan), “fokus yang dibicarakan” dan “mengapa”  dikatakan.
Salah satu pemikir Christopher Simpson (1994) menafsirkan apa yang dimaksud Foucoult. Bahwa kekuasaan dan pengetahuan terhubung. Berkembangnya rezim transmisi berkaitan dengan kekuasaan. Jadi komunikasi sebagai sarana/instrumen untuk mengausai orang lain. Pengetahuan-pengetahuannya disusun, dibentuk, dikodifikasikan dengan motivasi yang sama, bagaimana menciptakan suatu ilmu yang instrumental. Cristoper secara historis menjelaskan diskursus komunikasi sebagai transmisi berkaitan dengan usaha mencapai dominasi sehingga berkembang di Amrik.
Pembahasan Radford mengenai Novel “1984” juga mengarahkan pada pemikiran Christopher Simpson (1994) mengenai bangkitnya penelitian komunikasi sebagai hasil dari kolaborasi dengan pemerintah Amerika Serikat untuk mempelajari perang psikologis. Dimana psikologi komunikasi berusaha menganalisis penyebab, dampak, cara, mengendalikan peristiwa mental, dan behavioral serta erat kaitannya dalam perilaku dan pengalaman kesadaran (Radford, 2005:86-87). Poin krusialnya untuk mencapai komunikasi efektif sesuai dengan yang diinginkan komunikan.
Jelas bahwa padangan Christopher Simpson menyatakan perkembangan ilmu komunikasi searah dengan kepentingan kekuasaan. Simpson (1994) menekankan banyaknya dorongan yang membentuk penelitian komunikasi ke dalam ranah ilmiah yang tepat yang tidak dapat dipisahkan, atau dikatakan “kesempurnaan dari komunikasi” (Radford, 2005:82). Pada tahun 1950 tersebut pula, komunikasi akhirnya dipertimbangkan sebagai tipe dari alat-senjata perang sehingga melengkapi ranah psikologi dalam membuat strategi perang (Radford, 2005:83). Sebagai ilustrasi saat CIA yang menyerahkan ranah komunikasi pada Bureau of Social Science Research tentang penyiksaan tawanan perang, CIA beralasan bahwa interogasi sebagai aplikasi sosio psikologi yang  diartikulasikan dalam studi komunikasi (Radford, 2005:83).
Mensponsori grup militer US, propaganda dan industri intelejensi secara alami akan diterapkan pada penelitian komunikasi dengan pendekatan pragmatik, kemudian akan diteliti pula tujuan militer dan ideologinya. Pada konteks ini, komunikasi dikonseptualisasi dan di investigasi sebagai sebuah instrument untuk mempengaruhi atau mendominasi target grup. Pandangan komunikasi sebagai dominasi dan peperangan psikologi diikuti secara mudah dari para pengikut Locke yaitu teori proses informasi yang menjadi wacana dari komunikasi.

2. Dengan inspirasi dari pemikiran Martin Heidegger, kita bisa melihat kemungkinan komunikasi bukan sekedar sebagai komunikasi intrakultural saja, karena ada partisipasi ontologis dari tiap subyek. Subyek adalah “Being” yang menjadi “there” atau “Dasein”. Dasein adalah selalu sudah Mitsein (being-with), karena sama-sama berpartisipasi pada “Being”.
Fakta mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah “ada di dalam dunia” (http://www.iep.utm.edu/heidegge/). Dunia adalah karakter dari ada di dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan “Das Sein” (Ibid). Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berporos pada kesadaran atau subyektivitas dimana dia mencoba mengakses menjadi (Sein) dengan cara analisi fenomenologis eksistensi manusia (Dasein) sehubungan dengan karakter spasio-temporal (Ibid). Orang bisa menjadi sempurna dalam dirinya sendiri (Nogroho, dalam Kuliah Filsafat, 29 November 2012).
Seperti, Eco yang mengatakan “Mawar ada sebelum namanya”, tapi mawar ini tidak ada hubungannya dengan mawar berduri dimana bahasa permainan sendiri, language game (Ibid,. 29 November 2012). Melawan filsafat Heidegger meski pemikiran Heideger memiliki kebenaran mengenai seseorang yang ketika berbicara sebenarnya orang tersebut tidak mengkomunikasikan apa-apa kecuali dirinya sendiri. Singkatnya, Hyde menjelaskan bahwa orang bisa menjadi sempurna dalam dirinya sendiri.
Manusia adalah “Dasein” (“There-Being”) bukan “Das Sein” dimana “Sein” dapat dikatakan “Da”. “Sein” bisa menjadi “Da” yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan “There-Being”. Pada manusia, “Being” dapat dikatakan “There”. “There is”, “There are” dimana is dan are adalah to be (Nugroho, dalam Materi Kuliah Filsafat Komunikasi, 29 November 2012). Selanjutnya muncul pertanyaan “siapa” yang memberikan “There is”, “There are” (horison) kepada “saya” dan yang mengatakan “There” itu sendiri adalah “Being”.
Jadi “being” bagi manusia yang berbahasa menjadi penting meskipun dalam retorika ada sisi-sisi negatif terutama dalam rezim transmisi yang ingin mengontrol dan mengobyekkan orang lain (Ibid., Materi Perkuliahan). Tapi dalam bahasa bisa dilihat “being” melakukan revelasi.
Ketika dikonsepkan menjadi “Lumpur Sidoarjo” kita mulai mengerti siapa “being”nya yang memaparkan itu, kepentingannya apa (Persentasi Kelompok 9). Ketika seseorang berpresentasi mengenai sesuatu hal dalam hal ini Heidegger, kita mengerti ini orang yang membaca Habermas dan mencampurkan Hedegger dengan Habermas. Ketika saya membahas Heidegger maka pembaca akan mengerti saya mendengar, membaca dan melihat beragam sumber dari Habermas dan pemikir-pemikir lain mengenai Heidegger. Manusia adalah “being” yang bisa jadi “there” dan bagi manusia “being” menjadi “there” terutama dalam berbahasa.
Orang yang berbahasa ordinary language menunjukkan bahwa dirinya ordinary people. Manusia sebagai “Dasein” sebagai “there-being” seperti yang telah diungkapkan di awal memiliki struktur spasio-temporal menghadapi ketidakpastian masa depan yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang terjadi (Ibid,. Rekaman Nugroho). Manusia sangat bisa berubah ditandai negasi, detik ini bisa menjadi profesor detik berikutnya bukan, nama pun bisa diganti meski telah memiliki identitas (Ibid,. Rekaman Nugroho).
 Di antara ketidakpastian ada satu yang pasti, yaitu kematian karena kematian merupakan keruntuhan manusia sebagai “being” yang menjadi “there” (Ibid,. Rekaman Nugroho). Kematian secara spasio-temporal menyatakan bahwa “kita” tidak ada sebagaimana kita mengerti ada sekarang ini. Lalu kenapa kita tidak bunuh diri karena ada perubahan dari “being” kepada “nothing” (Ibid,. Rekaman Nugroho). Nothing adalah otherness (liyan) yang menjadi bagian hakiki sebagai “Dasein” (hubungan antara nothing-being seperti antara “yang” dan “yin”) (Ibid,. Materi Perkuliahan).
Hakikat komunikasi adalah membaca undangan (evokasi) dari ketidakpastian masa depan sebagai aspek nothing dan inilah yang disebut suara dari the otherness (consceince). Lalu menjadi otentik adalah respon dari the call of consceince. Menjadi otentik bukan menjadi yang lain dari yang lain tapi menjawab yang lain dari “being” kita. Dengan retorika, “Dasein” merevelasikan (memberi kesaksian) kepada orang lain tentang undangan dan respon.
Dalam komunikasi dan bahasa tanpa disadari diperlihatkan bahwa “Dasein” adalah “Mitsein” (being together) ada bersama yang juga menjadi penting dalam filsafat Hedegger. Tanpa filsafat ini, komunikasi menjadi tidak penting. Menurut Heidegger mengenai “liyan” tidak perlu melihat orang lain. Masa depanku adalah “liyan” ku (Ibid,. Rekaman Nugroho)

Kepustakaan :
Aku berpikir maka aku ada, Pemikir Thomas Kuhn, aku berpikir maka aku ada 06:13http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn. html, 2011
A Peer-Reviwed Academic Resource, Internet Encyclopedia of Philosophy, Martin Heidegger (1889—1976), http://www.iep.utm.edu/heidegge/
Nugroho, Alois A., Seminar Filsafat Dan Etika Komunikasi, http://www.fisip.ui.ac.id/kurikulum/2010/pascasarjana/kom2010.pdf, 2010
___________________, Kekuasaan dan Pengetahuan Menurut Michel Foulcoult : Pengantar Untuk Kuliah “Filsafat Komunikasi”, 2012
___________________, Materi Perkuliahan, 29 November 2012
___________________, Rekaman Pertemuan 9 Kuliah Filsafat Komunikasi, 29 November 2012
Neuman, W. Lawrance, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Ed. 7, Boston: Pearson Education. Inc, 2006.
Makalah Filsafat Komunikasi Chapter 9, 29 November 2012.
Radford, Gary, The Philosophy Communication, Amerika: Thomson Wadsworth. 2005


0 komentar:

Posting Komentar

 

WARNING!!!

PLEASE DON'T DO PLAGIARISM CAUSE IT'S NO INDONESIAN!!!