Ujian Akhir Semester
Filsafat dan Etika Komunikasi
Prof. Alois A. Nugroho
1. Gary Radford menyebut pandangan
komunikasi sebagai transmisi dengan kata rezim, mengikuti postmodernis Thomas
Kuhn dan Michel Foucault. Cristopher Simpson juga menyatakan bahwa ilmu
komunikasi berkembang searah dengan kepentingan kekuasaan. Jelaskan!
Pandangan komunikasi sebagai transmisi
dengan kata rezim mengandung unsur kekuasaan karena komunikasi sebagai rezim
transmisi merupakan mazhab pemikiran dominan (Nugroho, 1 November 2012). Dimana
paradigma dominan menekankan rasionalitas, objektivitas, totalitas,
strukturalisasi/sistematis, universalitas tunggal, dan kurang menghargai
pengalaman subyektif intituitif serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya
(Neuman, 2006:95,117). Modernisme ini melihat
pengetahuan sebagai pengontrol yang berada di dalam kekuasaan (value free). Sehingga orang yang
memiliki pengetahuan akan memiliki kekuasaan meresapi semangat modernisme
(Bacon dalam Nugroho, 2012:2).
Selain itu, unsur kekuasaan dalam rezim
komunikasi bukan dalam artian penindasan di sebuah komunitas melainkan para
partisipannya melakukan “role” sesuai
aturan. Dalam ilmu komunikasi, rezim komunikasi mendasari diri pada estimologi
John Locke, yakni bahwa komunikasi merupakan proses transmisi dan efektifitas
komunikasi merupakan ketidaksempurnaan yang harus diupayakan sempurna (Radford,
2005:22-23). Sehingga kata rezim seyogyanya menyiratkan paradigma Laswell yang
menjelaskan komponen sender (encode),
message, channel, receiver (decode)
(Radford, 2005:2). Artinya komunikasi terbatas, dimana sebuah pesan (ide)
dikirim dari komunikator kepada komunikan dan mencapai efektifitas.
Seiring perkembangan paradigma abad ke
20, maka saat ini adalah gerbang bagi postmodernis dimana semangat zaman ini
merupakan pembalikan dari anggapan Bacon (Nugroho, 2012:2). Postmodernis
mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan
universalisasi ide di berbagai bidang ilmu (Neuman, 2006:118). Singkatnya,
postmodernis adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman
modern. Dalam perkembangannya, postmodernis berangkat dari pemikiran dari
postmodernis yang dasarnya adalah tidak ada kebenaran yang absolut yang ada
adalah kebenaran relatif.
Sementara itu, Kuhn memandang ilmu
bukan merupakan upaya dalam menemukan objektivitas dan kebenaran, melainkan
lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang
telah berlaku (http://userperpustakaan. blogspot.com/2011/04/ pemikiran-thomas-kuhn.html). Kuhn
memakai istilah paradigma untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari
upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu dimana paradigma sendiri berkaitan erat
dengan ilmu normal (normal science).
Terkait dengan pandangan Kuhn, maka
rezim transmisi merupakan sebuah paradigma (normal
science) yang ditandai oleh kekuasaan (Nugroho dalam Deskripsi Mata Kuliah
Magister). Keberadaan rezim transmisi memenuhi syarat sebagai ilmu modern
karena bersifat atomistis, objektif, mekanistis dan matematis (Nugroho dalam
kuliah Filsafat Komunikasi 25 Oktober 2012).
Bersifat atomistis karena komunikasi
dianalisis menjadi sesuatu yang lebih kecil (dibreakdown) dan bersifat objektif karena konsep ketidaksadaran
diminta bantuan untuk menegakkan ilmu komunikasi (Ibid., 25 Oktober 2012). Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kuhn
telah menaruh perhatian besar pada “normalitas” yang dari kerja ilmu
pengetahuan dan perubahan antara normalitas satu ke normalitas lain (anomali)
atau biasa dikenal sebagai scientific
revolution (perubahan paradigma).
Di mana perubahan paradigma tersebut
bersifat “incommensurable” sampai
tingkat tertentu, tidak ada kebenaran yang bersifat universal dan pemaknaan
terletak pada subjek sehingga rezim komunikasi di sini terpatahkan. Maka, komponen
source tidak penting lagi dalam
paradigma komunikasi (normalitas). Meski demikian, “recalcitrant data” baru dianggap anomali bila diakui oleh mereka
yang memiliki otoritas dalam normalitas ilmiah tersebut (dalam Nugroho,
2012:4). Sebenarnya Kuhn sudah sedikit menyinggung peranan kekuasaan dalam
normalitas ilmiah, dimana buku teks diobservasi sebagai salah satu sarana untuk
memasukan siswa atau mahasiswa ke dalam normalitas ilmiah tertentu (Ibid., hlm.4). Meski demikian, nuansa
kekuasaan yang juga menyiratkan normalitas pada “rezim pengetahuan” maupun
“rezim komunikasi” bisa ditangkap dengan baik.
Novel 1984 yang dibahas pada chapter 6
buku Radford yang berjudul “The Philosophy of Communication” telah
mengilustrasikan bagaimana kita terdidik dalam rezim komunikasi sebagai
transmisi harus mempelajari paradigma-paradigma yang lain, seakan-akan
komunikasi sebagai extraordinary science
(rezim transmisi ke hermeneutika, ke fenomenologi).
Oleh beberapa tokoh, pandangan Kuhn
dapat disejajar dengan paradigma pandangan Foucoult. Dimana Foucoult
mengkaitkan pembentukan pengetahuan dan relasi kekuasaan dan sering
diasosiasikan dengan semboyan “Pouvoir
est savoir”, komunitas yang memiliki kekuasaan efektif menentukan
perkembangan pengetahuan dan kebenaran (Ibid.,
hlm.2).
Bagi Foucoult, kekuasaan menentukan
pengetahuan dengan merumuskan ide-ide diskursus yang memungkinan pembedaan
proposisi yang benar dan yang salah sehingga bisa disimpulkan bahwa “kuasa”
bukan dimaksudkan sebagai “milik” melainkan fungsi dan praktik. Foucolut juga
berusaha untuk memperlakukan apa yang dikatakan dalam ilmu manusia sebagai
“objek wacana” (Drefus & Rabinow dalam Radford, 2005:7). Dimana akhirnya,
Radford akan mengikuti Foulcoult, memulai dan melihat rezim komunikasi
(transmisi) sebagai objek wacana sehingga dalam memahami wacana komunikasi
perlu menyisihkan yang menjadi “apa” (konsep/kata/gagasan), “fokus yang
dibicarakan” dan “mengapa” dikatakan.
Salah
satu pemikir Christopher Simpson (1994) menafsirkan apa yang dimaksud Foucoult. Bahwa kekuasaan dan pengetahuan
terhubung. Berkembangnya rezim transmisi berkaitan dengan kekuasaan. Jadi
komunikasi sebagai sarana/instrumen untuk mengausai orang lain.
Pengetahuan-pengetahuannya disusun, dibentuk, dikodifikasikan dengan motivasi
yang sama, bagaimana menciptakan suatu ilmu yang instrumental. Cristoper secara
historis menjelaskan diskursus komunikasi sebagai transmisi berkaitan dengan
usaha mencapai dominasi sehingga berkembang di Amrik.
Pembahasan
Radford mengenai Novel “1984” juga mengarahkan pada pemikiran Christopher
Simpson (1994) mengenai bangkitnya penelitian komunikasi sebagai hasil dari
kolaborasi dengan pemerintah Amerika Serikat untuk mempelajari perang
psikologis. Dimana psikologi komunikasi berusaha menganalisis penyebab, dampak,
cara, mengendalikan peristiwa mental, dan behavioral serta erat kaitannya dalam
perilaku dan pengalaman kesadaran (Radford, 2005:86-87). Poin krusialnya untuk
mencapai komunikasi efektif sesuai dengan yang diinginkan komunikan.
Jelas bahwa padangan Christopher
Simpson menyatakan perkembangan ilmu komunikasi searah dengan kepentingan
kekuasaan. Simpson (1994) menekankan banyaknya dorongan yang membentuk
penelitian komunikasi ke dalam ranah ilmiah yang tepat yang tidak dapat
dipisahkan, atau dikatakan “kesempurnaan dari komunikasi” (Radford, 2005:82). Pada
tahun 1950 tersebut pula, komunikasi akhirnya dipertimbangkan sebagai tipe dari
alat-senjata perang sehingga melengkapi ranah psikologi dalam membuat strategi
perang (Radford, 2005:83). Sebagai ilustrasi saat CIA yang menyerahkan ranah
komunikasi pada Bureau of Social Science
Research tentang penyiksaan tawanan perang, CIA beralasan bahwa interogasi
sebagai aplikasi sosio psikologi yang
diartikulasikan dalam studi komunikasi (Radford, 2005:83).
Mensponsori grup militer US, propaganda
dan industri intelejensi secara alami akan diterapkan pada penelitian
komunikasi dengan pendekatan pragmatik, kemudian akan diteliti pula tujuan
militer dan ideologinya. Pada konteks ini, komunikasi dikonseptualisasi dan di
investigasi sebagai sebuah instrument untuk mempengaruhi atau mendominasi
target grup. Pandangan komunikasi sebagai dominasi dan peperangan psikologi
diikuti secara mudah dari para pengikut Locke yaitu teori proses informasi yang
menjadi wacana dari komunikasi.
2. Dengan inspirasi dari pemikiran Martin
Heidegger, kita bisa melihat kemungkinan komunikasi bukan sekedar sebagai
komunikasi intrakultural saja, karena ada partisipasi ontologis dari tiap
subyek. Subyek adalah “Being” yang menjadi “there” atau “Dasein”. Dasein adalah
selalu sudah Mitsein (being-with), karena sama-sama berpartisipasi pada
“Being”.
Fakta
mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah “ada di dalam dunia” (http://www.iep.utm.edu/heidegge/). Dunia adalah karakter dari ada di
dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan “Das Sein” (Ibid). Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berporos
pada kesadaran atau subyektivitas dimana dia mencoba mengakses menjadi (Sein)
dengan cara analisi fenomenologis eksistensi manusia (Dasein) sehubungan dengan
karakter spasio-temporal (Ibid). Orang
bisa menjadi sempurna dalam dirinya sendiri (Nogroho, dalam Kuliah Filsafat, 29
November 2012).
Seperti,
Eco yang mengatakan “Mawar ada sebelum
namanya”, tapi mawar ini tidak ada hubungannya dengan mawar berduri dimana
bahasa permainan sendiri, language game (Ibid,. 29 November 2012). Melawan filsafat
Heidegger meski pemikiran Heideger memiliki kebenaran mengenai seseorang yang ketika
berbicara sebenarnya orang tersebut tidak mengkomunikasikan apa-apa kecuali
dirinya sendiri. Singkatnya, Hyde menjelaskan bahwa orang bisa menjadi sempurna
dalam dirinya sendiri.
Manusia
adalah “Dasein” (“There-Being”) bukan
“Das Sein” dimana “Sein” dapat dikatakan “Da”. “Sein” bisa menjadi “Da” yang dalam
bahasa Inggris diterjemahkan “There-Being”.
Pada manusia, “Being” dapat dikatakan “There”. “There is”, “There are” dimana is dan are adalah to be
(Nugroho, dalam Materi Kuliah Filsafat Komunikasi, 29 November 2012). Selanjutnya
muncul pertanyaan “siapa” yang memberikan “There
is”, “There are” (horison) kepada
“saya” dan yang mengatakan “There” itu
sendiri adalah “Being”.
Jadi
“being” bagi manusia yang berbahasa
menjadi penting meskipun dalam retorika ada sisi-sisi negatif terutama dalam
rezim transmisi yang ingin mengontrol dan mengobyekkan orang lain (Ibid.,
Materi Perkuliahan). Tapi dalam bahasa bisa dilihat “being” melakukan revelasi.
Ketika
dikonsepkan menjadi “Lumpur Sidoarjo” kita mulai mengerti siapa “being”nya yang
memaparkan itu, kepentingannya apa (Persentasi Kelompok 9). Ketika seseorang
berpresentasi mengenai sesuatu hal dalam hal ini Heidegger, kita mengerti ini
orang yang membaca Habermas dan mencampurkan Hedegger dengan Habermas. Ketika saya
membahas Heidegger maka pembaca akan mengerti saya mendengar, membaca dan
melihat beragam sumber dari Habermas dan pemikir-pemikir lain mengenai
Heidegger. Manusia adalah “being”
yang bisa jadi “there” dan bagi
manusia “being” menjadi “there” terutama dalam berbahasa.
Orang
yang berbahasa ordinary language
menunjukkan bahwa dirinya ordinary people.
Manusia sebagai “Dasein” sebagai “there-being”
seperti yang telah diungkapkan di awal memiliki struktur spasio-temporal
menghadapi ketidakpastian masa depan yang penuh dengan berbagai kemungkinan
yang terjadi (Ibid,. Rekaman Nugroho).
Manusia sangat bisa berubah ditandai negasi, detik ini bisa menjadi profesor
detik berikutnya bukan, nama pun bisa diganti meski telah memiliki identitas (Ibid,. Rekaman Nugroho).
Di antara ketidakpastian ada satu yang pasti,
yaitu kematian karena kematian merupakan keruntuhan manusia sebagai “being” yang menjadi “there” (Ibid,. Rekaman Nugroho). Kematian secara spasio-temporal menyatakan
bahwa “kita” tidak ada sebagaimana kita mengerti ada sekarang ini. Lalu kenapa
kita tidak bunuh diri karena ada perubahan dari “being” kepada “nothing” (Ibid,. Rekaman Nugroho). Nothing adalah otherness (liyan) yang menjadi bagian hakiki sebagai “Dasein”
(hubungan antara nothing-being
seperti antara “yang” dan “yin”) (Ibid,.
Materi Perkuliahan).
Hakikat
komunikasi adalah membaca undangan (evokasi) dari ketidakpastian masa depan
sebagai aspek nothing dan inilah yang
disebut suara dari the otherness (consceince). Lalu menjadi otentik adalah
respon dari the call of consceince.
Menjadi otentik bukan menjadi yang lain dari yang lain tapi menjawab yang lain
dari “being” kita. Dengan retorika, “Dasein”
merevelasikan (memberi kesaksian) kepada orang lain tentang undangan dan respon.
Dalam
komunikasi dan bahasa tanpa disadari diperlihatkan bahwa “Dasein” adalah “Mitsein”
(being together) ada bersama yang
juga menjadi penting dalam filsafat Hedegger. Tanpa filsafat ini, komunikasi
menjadi tidak penting. Menurut Heidegger mengenai “liyan” tidak perlu melihat
orang lain. Masa depanku adalah “liyan” ku (Ibid,.
Rekaman Nugroho)
Kepustakaan
:
Aku berpikir maka aku ada, Pemikir Thomas Kuhn, aku
berpikir maka aku ada 06:13http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.
html, 2011
A Peer-Reviwed Academic
Resource, Internet Encyclopedia of
Philosophy, Martin Heidegger (1889—1976), http://www.iep.utm.edu/heidegge/
Nugroho, Alois A., Seminar Filsafat Dan Etika Komunikasi, http://www.fisip.ui.ac.id/kurikulum/2010/pascasarjana/kom2010.pdf, 2010
___________________, Kekuasaan
dan Pengetahuan Menurut Michel Foulcoult : Pengantar Untuk Kuliah “Filsafat
Komunikasi”, 2012
___________________, Materi
Perkuliahan, 29 November 2012
___________________, Rekaman
Pertemuan 9 Kuliah Filsafat Komunikasi, 29 November 2012
Neuman, W.
Lawrance, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Ed. 7, Boston: Pearson Education. Inc,
2006.
Makalah Filsafat
Komunikasi Chapter 9,
29 November 2012.
Radford, Gary, The
Philosophy Communication, Amerika: Thomson Wadsworth. 2005
0 komentar:
Posting Komentar