Quiz 4 A MINGGU 4:
- PENILAIAN TERAKHIR PADA MINGGU, 10 SEPTEMBER 2017 PUKUL 05.00 WIB (MINGGU KE 4).
- REVISI SKRIPSI BERIKUT INI! POIN REVISI MELIPUTI DAS SOLLEN, DAS SEIN, PERTANYAAN PENELITIAN, TUJUAN PENELITIAN DAN TINJAUAN PUSTAKA (MELIPUTI PENELITIAN TERDAHULU, TEORI, KONSEP PENDAMPING, DAN KERANGKA BERPIKIR).
- PERHATIKAN!! UNTUK TINJAUAN PUSTAKA HANYA REVISI POIN-POIN DARI SUB JUDUL. TULIS SUB JUDUL ASLI & REVISI MENURUT ANDA!
- UNTUK KERANGKA PEMIKIRAN, ANDA REVISI SESUAI ANALISA ANDA DARI SKRIPSI TERSEBUT.
- FULL SKRIPSI KLIK RIA TRISTINA DAYU
- SELAMAT BERKREATIVITAS
GAY DI KOTA BENGKULU
(Identifikasi Perilaku dan Orientasi Seksual pada Kalangan Kaum)
RIA TRISTINA DAYU
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan perkotaan belakangan ini berkembang pesat, terutama dalam aktifitas pergaulan dan berinteraksi satu sama lain. Fenomena ini memicu terjalinnya interaksi yang semakin intim di berbagai kalangan. Bahkan, interaksi tersebut menciptakan kelompok-kelompok tersendiri yang memiliki orientasi berbeda. Salah satunya adalah kaum homoseksual atau gay. Kartika Puspa Negara (2014:3) menyatakan bahwa faktor pergaulan dan pengalaman memberikan peran yang besar dalam proses pembentukan identitas seseorang, apakah dia akan menjadi seorangheteroseksual atau menjadi seorang homoseksual.
Kaum gay dewasa ini, keberadaannya semakin ingin diakui oleh masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dari adanya pertambahan jumlah kalangan homoseksual (gay) Indonesia dan diprediksi semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini senada dengan pernyataan Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:3) bahwa Jumlah gay di Indonesia mencapai angka 7.000.000 orang dengan kecenderungan capaian pertumbuhan dua kali lipat dari kalangan dengan pilihan berorientasi biseksual.
Bukti lain yang menunjukan semakin kuatnya keinginan kaum gay ingin memperoleh pengakuan masyarakat dengan kemunculan di media-media seperti media informasi serta wadah lainnya. Berdasarkan penelitian Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:3) ditemukan bahwa, “Semakin terbukanya akses media informasi serta wadah komunitas gay yang ada di setiap kota juga turut memberi warna keterbukaan gay pada khalayak umum. Meski alasan klasik bagi masyarakat umum persoalan gay tabu dibicarakan, namun kalangan ini akhirnya lebih banyak menegaskan identitasnya tersendiri dalam beragam media. Tercatat setidaknya ada beberapa komunitas dunia maya sebagai ajang pertemuan, pertemanan, hingga perjodohan pada kalangan ini.” Adapun beberapa situs yang dimaksudkan tersebut di antaranya adalah situs “Gayadewata” dengan jangkaan Lokal/Internasional, “Manjam” jangkauan Internasional, dan situs “Gay Romeo” dengan jangkauan Internasional (Portal Gaya Nusantara, 2013:4). Hal tersebut membuktikan bahwa dengan keberadaan kelompok fenomena gay yang mulai membuka diri pada masyarakat melalui beragam media, serta makin gencarnya kampanye kesetaraan hak minoritas termasuk kalangan gay, secara perlahan mulai menggeser konsepsi nilai pada sebagian masyarakat kita. Bahkan, tidak hanya di kota-kota besar, kaum gay-pun telah eksis di daerah-daerah lainnya, termasuk Bengkulu.
Dewasa ini, untuk menjaga eksistensinya sebagai kaum minoritas, kaum gay menciptakan, menggunakan, bahkan mensosialisasikan gaya komunikasi dan bahasa tersendiri saat menjalin interaksi dengan orang lain. Hal ini dilakukan guna menunjukan identitas diri mereka sebagai bagian dari kaum gay tempat mereka berinteraksi dan berkomunikasi serta ditujukan untuk dapat dengan mudah mengidentifikasi kalangan lawan komunikasinya. Hal ini senada dengan penyataan Dodi, seorang pelaku gay asal Semarang yang menjadi tukang pijat plus-plus dalam Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:15-17) bahwa, “Penggunaan ragam istilah atau bahasa gaul digunakan untuk dapat mengidentifikasi apakah seseorang tersebut berasal dari kalangan kaum gay atau bukan. Selain itu juga ditujukan untuk dapat merahasiakan isi obrolan mereka sesama kaum gay”. Keberadaan kaum gay yang semakin berkembang ini jelas menjadi sorotan banyak mata dan menjadi perbincangan yang tidak dapat dielakkan. Hal tersebut dikarenakan gay merupakan salah satu bentuk perilaku yang dirasa menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai serta norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku menurut Heri Purwanto dalam Notoatmodjo (2003) adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi atau respon berupa tindakan ataupun sikap yang dihasilkan seseorang terhadap stimulus atau umpan yang diterimanya.
Selanjutnya, sesuatu yang menyimpang karena perilaku, utamanya perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga penempatan kalangan homoseksual sebagai kaum marginal pada masyarakat membuat sebagian besar kalangan ini masih memiliki batasan berinteraksi dengan warga masyarakat awam di sekitarnya. Meski pilihan atas fasilitas berkomunikasi antar mereka bervariasi dan mudah terakses, tetapi sebagian besar kalangan justru masih terkondisi atas kendala berinteraksi. Pilihan kalangan ini hanya terpilahkan atas dua hal, terbuka mengungkapkan diri namun beresiko atas sanksi sosial yang akan diterimanya, atau tetap menyembunyikan identitas namun tetap dalam situasi kegelisahan atas pilihan orientasi seksualnya.
Sebagai makhluk relasional, homoseksual atau kaum gay secara tersembunyi memiliki cara-cara tersendiri dalam mengidentifikasi diri dan pasangannya. Di sisi lain, kehidupan kaum homoseksual yang bertolak belakang dengan kebiasaan kehidupan manusia secara normal dalam berperilaku dan menentukan sikap. Membuat komunitas maupun individu homoseksual itu sendiri ternyata tidak mendapat tempat di masyarakat. Itu semua dikarenakan pola kehidupan mereka dianggap akan mempengaruhi kehidupan masyarakat lain. Bagi kalangan yang kontra terhadap hubungan sesama jenis, mengganggap bahwa hubungan sesama jenis merupakan hal yang salah dan berdosa, kondisi ini menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku yang mendasar dalam masyarakat yang mengakibatkan suatu ancaman sosial untuk para homoseksual.
Hal ini menyebabkan kaum homoseksual kerap menerima perlakuan berupa pelecehan fisik ataupun verbal dalam lingkungan sosialnya yang menyebabkan perasaan takut akan perlakuan negatif, pengucilan, dan pernyataan negatif yang merupakan ancaman sosial-agama yang muncul dari masyarakat (Oetomo, 2006). Hal inilah yang menjadikan individu homoseksual enggan untuk membuka diri atau yang kita kenal dengan istilah non coming out. Sikap dari masyarakat maupun keluarga yang menolak, mengusir ataupun tidak mau mengakui adanya hubungan keluarga yang homoseksual membuat kaum gay tidak menyatakan secara pribadi dan terbuka tentang identitas dirinya kepada lingkungan dan masyarakat. Konsekuensi negatif yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekatnya membuat penerimaan diri seorang homoseksual terhadap dirinya menjadi tidak baik. Kaum gay tersebut akan merasakan bahwa diri mereka tidak pantas berada dalam keluarga dan lingkungannya, karena dianggap memiliki suatu perilaku seksual yang dianggap salah oleh lingkungannya. Dengan melihat berbagai bentuk ketidakadilan yang diberikan masyarakat melalui perlakuan-perlakuan kurang mengenakan terhadap kaum ini, seperti dikucilkan dan menjadi bahan pergunjingan, membuat kaum homoseksual memilih untuk melakukan penutupan jati diri. Pengungkapan jati diri yang tertutup tersebut dilakukan guna menyembunyikan identitas dan perilaku dalam diri mereka yang sebenarnya dalam mengidentifikasikan pasangannya sehingga tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, apabila ditinjau dalam konsep ilmu komunikasi, pengungkapan diri merupakan bentuk terpenting komunikasi interpersonal di mana seseorang dapat melibatkan pembicaraan tentang dirinya sendiri atau membuka diri. Pengungkapan tersebut tersebut mengarah pada sikap mengkomunikasikan informasi mengenai diri orang yang bersangkutan kepada orang lain (Devito, 1999). Pengungkapan diri mengacu pada penyampaian informasi secara sadar, baik menyangkut pikiran, perasaan dan perilaku yang diceritakan secara terbuka pada orang lain. Unsur terpenting pada jenis komunikasi ini adalah melalui ekspresi wajah, sikap, tubuh, pakaian, nada suara, serta isyarat non verbal lainnya. Proses pengungkapan diri tersebut tersirat pada lambang verbal dan non verbal terjadi saat partisipan komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu melalui bahasa lisan maupun tulisan. Pada kaum gay, komunikasi non verbal ditujukan untuk menyembunyikan jati diri dan keberadaannya yang dewasa ini belum dapat diterima di tengah masyarakat. Selain itu, perilaku-perilaku seperti cara berpakaian, nada bicara, cara berbicara, ekspresi wajah, cara berjalan, dan sebagainya pada kaum gay juga menjadi bagian penting yang dapat digunakan kaum gay tersebut untuk mengidentifikasi pasangan sesamanya (Kuswarno, 2009). Hal-hal yang terkait dengan pengungkapan jati diri dan perilaku yang tertutup ini, ditujukan guna melindungi keberadaan kaum gay itu sendiri yang belum dapat diakui seperti layaknya di negara-negara barat.
Di Negara Barat seperti di Amerika dan Kanada bukan hanya mengganggap homoseksual adalah suatu orientasi seksual pilihan yang wajar saja, melainkan sampai mengadakan undang-undang pelegalan pernikahan sesama jenis (American Psychiatric Assosiation (APA), 1973). Selain itu beberapa dari negara besar di Asia telah menganggap homoseksual sebuah orientasi seksual biasa yang juga memiliki hak yang sama dengan kelompok masyarakat biasa lainnya. Jadi, keberadaan kelompok gay ini tidak tersembunyi dan mereka bebas memperlihatkan identitas mereka di hadapan masyarakat. Tetapi bagaimana di Indonesia, di Indonesia homoseksual masih dianggap sebagai stigma atau hal yang dianggap tercela, dan hal yang dianggap tabu. Apalagi di Wilayah Kota Bengkulu, fenomena gay tidak mendapat tempat di dalam lingkungan masyarakat. Kurangnya ruang lingkup yang mendukung, situasi penolakan dari masyarakat, serta informasi yang terkonstruksi dengan bentuk persepsi yang tidak kritis. Kemudian menjadikan posisi kaum gay berada pada posisi sulit. Sebagai kota yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota metropolitan, maka Bengkulu masih banyak terkontaminasi dengan informasi yang mengatakan bahwa gay adalah sebuah kegilaan dalam urusan kejiwaan. Ketidakadilan rasa yang dimiliki oleh beberapa kaum gay ini kemudian membuatnya menjadi kelompok yang hidup diam-diam dan terus berkembang dengan proses interaksi-interaksi yang dipahami oleh kelompok itu tersendiri.
Penolakan sosial dan bentuk reaksi lingkungan masyarakat yang dipengaruhi dengan informasi buruk mengenai gay membuat proses identifikasi dan kehadirannya di kehidupan sosial tertutup rapat. Menurut informan (gay Bengkulu), PG (23 Tahun) mengatakan, “Saya banyak memiliki sahabat gay yang memilih menikah dan menutupi orientasinya baik kepada istri ataupun keluarga dengan alasan penyelamatan konsep diri di tengah masyarakat yang kontra. Bukan karena dia Biseksual melainkan hanya untuk menutup omongan miring masyarakat” (pra observasi 6 Februari 2016, PG).
Di kota Bengkulu sendiri belum ada wadah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menaungi komunitas gay di Bengkulu sehingga mereka masih sangat berhati-hati dalam mengungkap identitas gay-nya. Seperti halnya makhluk hidup yang berpasang-pasangan, komunitas gay ini juga menginginkan kehidupan yang lebih serius dengan pasangan sesama jenisnya seperti ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, penolakan yang terjadi di antara kehidupan masyarakat membuat komunitas gay membuka ruangnya sendiri. Maka dari itu, para gay ini menutup orientasinya di lingkungan masyarakat agar tidak menjadi perbincangan mengenai keberadaan mereka yang dianggap masyarakat sebagai kaum minoritas yang tidak pantas dihargai.
Fenomena lainnya di Bengkulu ketika para gay yang tidak terkoordinir dalam sebuah komunitas ini dapat menemukan pasangannya yaitu melalui berbagai cara komunikasi seperti melalui sosial media. Seperti membuat group privasi dari aplikasi whatsapp yang bisa diakses untuk saling berkenalan dengan kaum gay lainnya yang tidak hanya mereka dapati di Bengkulu tetapi juga yang berada di luar Bengkulu. Bagi para gay yang sudah menikah, alih-alih menjalani adanya tugas diluar kota adalah suatu alasan yang diberikan kepada istri mereka untuk menemui pasangan gay nya yang berada di luar kota Bengkulu. Berdasarkan, uraian di atas tentang adanya fenomena gay yang semakin marak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap fenomena tersebut guna mengetahui bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh pasangan homoseksual ini dalam mengidentifikasi pasangannya dan mengetahui orientasi seksual sesama jenisnya dengan judul penelitian Gay Di Bengkulu (Identifikasi, Perilaku, dan Orientasi Seksual pada Kalangan Kaum Gay di Kota Bengkulu).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan pemaparan di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini nantinya adalah
1. Bagaimana perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam mengidentifikasi calon pasangannya?
2. Bagaimana perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam orientasi seksual sesama jenisnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka peneliti
memiliki tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian tersebut antara lain :
1.
Untuk mengetahui perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam
mengidentifikasi calon pasangannya.
2.
Untuk mengetahui perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam orientasi
seksual sesama jenis.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat guna untuk
pengetahuan masyarakat secara umum dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
komunikasi secara khusus. Selain itu, penelitian ini nantinya juga diharapkan
dapat berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian serupa selanjutnya, dan
diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pengetahuan dosen dan mahasiswa
komunikasi secara keseluruhan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini nantinya diharapkan
dapat berguna bagi para praktisi masyarakat secara umum dan bagi praktisi komunikasi
secara khususnya untuk dapat mengetahui perilaku dari para pelak kaum gay yang
keberadaannya semakin marak di tengah masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu
2.2
Queer Theory Judith Butler
2.3
Fenomena Gay (Homoseksual)
2.4
Kelas-Kelas Kaum Gay
2.5
Gaya Komunikasi Kaum Gay
2.6
Orientasi dan Identitas Seksual Kaum Gay
2.7
Kerangka Pemikiran
Tulisan di atas skripsi yang selesai pada November 2016 oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi, Ria Tristina Dayu angkatan 2012. Penelitian lapangan ini selesai dengan durasi dua semester.