Pages

Labels

Rabu, 30 Agustus 2017

QUIZ 4 METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF

Quiz 4 A MINGGU 4:



  1. PENILAIAN TERAKHIR PADA MINGGU, 10 SEPTEMBER 2017 PUKUL 05.00 WIB (MINGGU KE 4).
  2. REVISI SKRIPSI BERIKUT INI! POIN REVISI MELIPUTI DAS SOLLEN, DAS SEINPERTANYAAN PENELITIAN, TUJUAN PENELITIAN DAN TINJAUAN PUSTAKA (MELIPUTI PENELITIAN TERDAHULU, TEORI, KONSEP PENDAMPING, DAN KERANGKA BERPIKIR).
  3. PERHATIKAN!! UNTUK TINJAUAN PUSTAKA HANYA REVISI POIN-POIN DARI SUB JUDUL. TULIS SUB JUDUL ASLI & REVISI MENURUT ANDA!
  4. UNTUK KERANGKA PEMIKIRAN, ANDA REVISI SESUAI ANALISA ANDA DARI SKRIPSI TERSEBUT.
  5. FULL SKRIPSI KLIK RIA TRISTINA DAYU
  6. SELAMAT BERKREATIVITAS

GAY DI KOTA BENGKULU


             (Identifikasi Perilaku dan Orientasi Seksual pada Kalangan Kaum)


RIA TRISTINA DAYU


BAB I PENDAHULUAN

      1.1 Latar Belakang

        Kehidupan perkotaan belakangan ini berkembang pesat, terutama dalam aktifitas pergaulan dan berinteraksi satu sama lain. Fenomena ini memicu terjalinnya interaksi yang semakin intim di berbagai kalangan. Bahkan, interaksi tersebut menciptakan kelompok-kelompok tersendiri yang memiliki orientasi berbeda. Salah satunya adalah kaum homoseksual atau gay. Kartika Puspa Negara (2014:3) menyatakan bahwa faktor pergaulan dan pengalaman memberikan peran  yang besar dalam proses pembentukan identitas seseorang, apakah dia akan menjadi seorangheteroseksual atau menjadi seorang homoseksual.
Kaum gay dewasa ini, keberadaannya semakin ingin diakui oleh masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dari adanya pertambahan jumlah kalangan homoseksual (gay) Indonesia dan diprediksi semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini senada dengan pernyataan Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:3) bahwa Jumlah gay di Indonesia mencapai angka 7.000.000 orang dengan kecenderungan capaian pertumbuhan dua kali lipat dari kalangan dengan pilihan berorientasi biseksual.
Bukti lain yang menunjukan semakin kuatnya keinginan kaum gay ingin memperoleh pengakuan masyarakat dengan kemunculan di media-media seperti media informasi serta wadah lainnya. Berdasarkan penelitian Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:3) ditemukan bahwa, “Semakin terbukanya akses media informasi serta wadah komunitas gay yang ada di setiap kota juga turut memberi warna keterbukaan gay pada khalayak umum. Meski alasan klasik bagi masyarakat umum persoalan gay tabu dibicarakan, namun kalangan ini akhirnya lebih banyak menegaskan identitasnya tersendiri dalam beragam media. Tercatat setidaknya ada beberapa komunitas dunia maya sebagai ajang pertemuan, pertemanan, hingga perjodohan pada kalangan ini.” Adapun beberapa situs yang dimaksudkan tersebut di antaranya adalah situs “Gayadewata” dengan jangkaan Lokal/Internasional, “Manjam”  jangkauan Internasional, dan situs “Gay Romeo” dengan jangkauan Internasional (Portal Gaya Nusantara, 2013:4). Hal tersebut membuktikan bahwa dengan keberadaan kelompok fenomena gay yang mulai membuka diri pada masyarakat melalui beragam media, serta makin gencarnya kampanye kesetaraan hak minoritas termasuk kalangan gay, secara perlahan mulai menggeser konsepsi nilai pada sebagian masyarakat kita. Bahkan, tidak hanya di kota-kota besar, kaum gay-pun telah eksis di daerah-daerah lainnya, termasuk Bengkulu.
Dewasa ini, untuk menjaga eksistensinya sebagai kaum minoritas, kaum gay menciptakan, menggunakan, bahkan mensosialisasikan gaya komunikasi dan bahasa tersendiri saat menjalin interaksi dengan orang lain. Hal ini dilakukan guna menunjukan identitas diri mereka sebagai bagian dari kaum gay tempat mereka berinteraksi dan berkomunikasi serta ditujukan untuk dapat dengan mudah mengidentifikasi kalangan lawan komunikasinya. Hal ini senada dengan penyataan Dodi, seorang pelaku gay asal Semarang yang menjadi tukang pijat plus-plus dalam Dewa Ayu dan I Nyoman Dewi (dalam Portal Gaya Nusantara, 2013:15-17) bahwa,  “Penggunaan ragam istilah atau bahasa gaul digunakan untuk dapat mengidentifikasi apakah seseorang tersebut berasal dari kalangan kaum gay atau bukan. Selain itu juga ditujukan untuk dapat merahasiakan isi obrolan mereka sesama kaum gay”. Keberadaan kaum gay yang semakin berkembang ini jelas menjadi sorotan banyak mata dan menjadi perbincangan yang  tidak dapat dielakkan. Hal tersebut dikarenakan gay merupakan salah satu bentuk perilaku yang dirasa menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai serta norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku menurut  Heri Purwanto dalam Notoatmodjo (2003) adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi atau respon berupa tindakan ataupun sikap yang dihasilkan seseorang terhadap stimulus atau umpan yang diterimanya.
Selanjutnya, sesuatu yang menyimpang karena perilaku, utamanya perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga penempatan kalangan homoseksual sebagai kaum marginal pada masyarakat membuat sebagian besar kalangan ini masih memiliki batasan berinteraksi dengan warga masyarakat awam di sekitarnya. Meski pilihan atas fasilitas berkomunikasi antar mereka bervariasi dan mudah terakses, tetapi sebagian besar kalangan justru masih terkondisi atas kendala berinteraksi. Pilihan kalangan ini hanya terpilahkan atas dua hal, terbuka mengungkapkan diri namun beresiko atas sanksi sosial yang akan diterimanya, atau tetap menyembunyikan identitas namun tetap dalam situasi kegelisahan atas pilihan orientasi seksualnya.
Sebagai makhluk relasional, homoseksual atau kaum gay secara tersembunyi memiliki cara-cara tersendiri dalam mengidentifikasi diri dan pasangannya. Di sisi lain, kehidupan kaum homoseksual yang bertolak belakang dengan kebiasaan kehidupan manusia secara normal dalam berperilaku dan menentukan sikap. Membuat komunitas maupun individu homoseksual itu sendiri ternyata tidak mendapat tempat di masyarakat. Itu semua dikarenakan pola kehidupan mereka dianggap akan mempengaruhi kehidupan masyarakat lain. Bagi kalangan yang kontra terhadap hubungan sesama jenis, mengganggap bahwa hubungan sesama jenis merupakan hal yang salah dan berdosa, kondisi ini menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku yang mendasar dalam masyarakat yang mengakibatkan suatu ancaman sosial untuk para homoseksual.
Hal ini menyebabkan kaum homoseksual kerap menerima perlakuan berupa pelecehan fisik ataupun verbal dalam lingkungan sosialnya yang menyebabkan perasaan takut akan  perlakuan negatif, pengucilan, dan pernyataan negatif yang merupakan ancaman sosial-agama yang muncul dari masyarakat (Oetomo, 2006). Hal inilah yang menjadikan individu homoseksual enggan untuk membuka diri atau yang kita kenal dengan istilah non coming out. Sikap dari masyarakat maupun keluarga yang menolak, mengusir ataupun tidak mau mengakui adanya hubungan keluarga yang homoseksual membuat kaum gay tidak menyatakan secara pribadi dan terbuka tentang identitas dirinya kepada lingkungan dan masyarakat. Konsekuensi negatif yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekatnya membuat penerimaan diri seorang homoseksual terhadap dirinya menjadi tidak baik. Kaum gay tersebut akan merasakan bahwa diri mereka tidak pantas berada dalam keluarga dan lingkungannya, karena dianggap memiliki suatu perilaku seksual yang dianggap salah oleh lingkungannya. Dengan melihat berbagai bentuk ketidakadilan yang diberikan masyarakat melalui perlakuan-perlakuan kurang mengenakan terhadap kaum ini, seperti dikucilkan dan menjadi bahan pergunjingan, membuat kaum homoseksual memilih untuk melakukan penutupan jati diri. Pengungkapan jati diri yang tertutup tersebut dilakukan guna menyembunyikan identitas dan perilaku dalam diri mereka yang sebenarnya dalam mengidentifikasikan pasangannya sehingga tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, apabila ditinjau dalam konsep ilmu komunikasi, pengungkapan diri merupakan bentuk terpenting komunikasi interpersonal di mana seseorang dapat melibatkan pembicaraan tentang dirinya sendiri atau membuka diri. Pengungkapan tersebut tersebut mengarah pada sikap mengkomunikasikan informasi mengenai diri orang yang bersangkutan kepada orang lain (Devito, 1999). Pengungkapan diri mengacu pada penyampaian informasi secara sadar, baik menyangkut pikiran, perasaan dan perilaku yang diceritakan secara terbuka pada orang lain. Unsur terpenting pada jenis komunikasi ini adalah melalui ekspresi wajah, sikap, tubuh, pakaian, nada suara, serta isyarat non verbal lainnya. Proses pengungkapan diri tersebut tersirat pada lambang verbal dan non verbal terjadi saat partisipan komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu melalui bahasa lisan maupun tulisan. Pada kaum gay, komunikasi non verbal ditujukan untuk menyembunyikan jati diri dan keberadaannya yang dewasa ini belum dapat diterima di tengah masyarakat. Selain itu, perilaku-perilaku seperti cara berpakaian, nada bicara, cara berbicara, ekspresi wajah, cara berjalan, dan sebagainya pada kaum gay juga menjadi bagian penting yang dapat digunakan kaum gay tersebut untuk mengidentifikasi pasangan sesamanya (Kuswarno, 2009). Hal-hal yang terkait dengan pengungkapan jati diri dan perilaku yang tertutup ini, ditujukan guna melindungi keberadaan kaum gay itu sendiri yang belum dapat diakui seperti layaknya di negara-negara barat.
Di Negara Barat seperti di Amerika dan Kanada bukan hanya mengganggap homoseksual adalah suatu orientasi seksual pilihan yang wajar saja, melainkan sampai mengadakan undang-undang pelegalan pernikahan sesama jenis (American Psychiatric Assosiation (APA), 1973). Selain itu beberapa dari negara besar di Asia telah menganggap homoseksual sebuah orientasi seksual biasa yang juga memiliki hak yang sama dengan  kelompok masyarakat biasa lainnya. Jadi, keberadaan kelompok gay ini tidak tersembunyi dan mereka bebas memperlihatkan identitas mereka di hadapan masyarakat. Tetapi bagaimana di Indonesia, di Indonesia homoseksual masih dianggap sebagai stigma atau hal yang dianggap tercela, dan hal yang dianggap tabu. Apalagi di Wilayah Kota Bengkulu, fenomena gay tidak mendapat tempat di dalam lingkungan masyarakat. Kurangnya ruang lingkup yang mendukung,  situasi penolakan dari masyarakat, serta informasi yang terkonstruksi dengan bentuk persepsi yang tidak kritis. Kemudian menjadikan posisi kaum gay berada pada posisi sulit. Sebagai kota yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota metropolitan, maka Bengkulu masih banyak terkontaminasi dengan informasi yang mengatakan bahwa gay adalah sebuah kegilaan dalam urusan kejiwaan. Ketidakadilan rasa yang dimiliki oleh beberapa kaum gay ini kemudian membuatnya menjadi kelompok yang hidup diam-diam dan terus berkembang dengan proses interaksi-interaksi yang dipahami oleh kelompok itu tersendiri.
Penolakan sosial dan bentuk reaksi lingkungan masyarakat yang dipengaruhi dengan informasi buruk mengenai gay membuat proses identifikasi dan kehadirannya di kehidupan sosial tertutup rapat. Menurut informan (gay Bengkulu), PG (23 Tahun) mengatakan, “Saya banyak memiliki sahabat gay yang memilih menikah dan menutupi orientasinya baik kepada istri ataupun keluarga dengan alasan penyelamatan konsep diri di tengah masyarakat yang kontra. Bukan karena dia Biseksual melainkan hanya untuk menutup omongan miring masyarakat” (pra observasi 6 Februari 2016, PG).
Di kota Bengkulu sendiri belum ada wadah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menaungi komunitas gay di Bengkulu sehingga mereka masih sangat berhati-hati dalam mengungkap identitas gay-nya. Seperti halnya makhluk hidup yang berpasang-pasangan, komunitas gay ini juga menginginkan kehidupan yang lebih serius dengan pasangan sesama jenisnya seperti ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, penolakan yang terjadi di antara kehidupan masyarakat membuat komunitas gay membuka ruangnya sendiri. Maka dari itu, para gay ini menutup orientasinya di lingkungan masyarakat agar tidak menjadi perbincangan mengenai keberadaan mereka yang dianggap masyarakat sebagai kaum minoritas yang tidak pantas dihargai.
Fenomena lainnya di Bengkulu ketika para gay yang tidak terkoordinir dalam sebuah komunitas ini dapat menemukan pasangannya yaitu melalui berbagai cara komunikasi seperti melalui sosial media. Seperti membuat group privasi dari aplikasi whatsapp yang bisa diakses untuk saling berkenalan dengan kaum gay lainnya yang tidak hanya mereka dapati di Bengkulu tetapi juga yang berada di luar Bengkulu. Bagi para gay yang sudah menikah, alih-alih menjalani adanya tugas diluar kota adalah suatu alasan yang diberikan kepada istri mereka untuk menemui pasangan gay nya yang berada di luar kota Bengkulu. Berdasarkan, uraian di atas tentang adanya fenomena gay yang semakin marak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap fenomena tersebut guna mengetahui bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh pasangan homoseksual ini dalam mengidentifikasi pasangannya dan mengetahui orientasi seksual sesama jenisnya dengan judul penelitian Gay Di Bengkulu (Identifikasi, Perilaku, dan Orientasi Seksual pada Kalangan Kaum Gay di Kota Bengkulu).


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan pemaparan di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini nantinya adalah

1.        Bagaimana perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam mengidentifikasi calon pasangannya?

2.        Bagaimana perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam orientasi seksual sesama jenisnya?


1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka peneliti memiliki tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian tersebut antara lain :


1.        Untuk mengetahui perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam mengidentifikasi calon pasangannya.


2.        Untuk mengetahui perilaku kaum gay Kota Bengkulu dalam orientasi seksual sesama jenis.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat guna untuk pengetahuan masyarakat secara umum dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi secara khusus. Selain itu, penelitian ini nantinya juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian serupa selanjutnya, dan diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pengetahuan dosen dan mahasiswa komunikasi secara keseluruhan.

1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna bagi para praktisi masyarakat secara umum dan bagi praktisi komunikasi secara khususnya untuk dapat mengetahui perilaku dari para pelak kaum gay yang keberadaannya semakin marak di tengah masyarakat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Penelitian Terdahulu

2.2         Queer Theory Judith Butler

2.3         Fenomena Gay (Homoseksual)

2.4         Kelas-Kelas Kaum Gay

2.5         Gaya Komunikasi Kaum Gay

2.6         Orientasi dan Identitas Seksual Kaum Gay

2.7         Kerangka Pemikiran




Tulisan di atas skripsi yang selesai pada November 2016 oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi, Ria Tristina Dayu angkatan 2012. Penelitian lapangan ini selesai dengan durasi dua semester. 











Selasa, 29 Agustus 2017

PERDEBATAN PARADIGMA DALAM PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF


A.       Para Ilmuwan dan Paradigmanya
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada materi sebelumnya, paradigma adalah pandangan dunia (worldview), sebuah cara berfikir tentang suatu hal dan memahami kompleksitas dunia nyata (Patton, 2002). Paradigma menjadi salah satu hal yang paling penting dalam rancangan penelitian karena akan menentukan kecenderungan pendekatan, apakah pendekatan kuantitatif, pendekatan kualitatif ataukah pendekatan campuran (mix method). Alasan inilah yang menjadikan paradigma sebagai prinsip yang dipegang kukuh oleh peneliti. Para ilmuwan telah membagi paradigma secara berbeda berdasarkan pengalaman keilmuwan masing-masing. Creswell memetakan empat paradigma yang lazim disebutnya sebagai pandangan dunia, yakni post-positivisme, konstruktivisme, advokasi/partisipatoris, dan pragmatis. 



Atas dasar pemetaan tersebut, Creswell merangkum paradigma (yang disebutnya pandangan dunia) berdasarkan kecenderungan-kecenderungan pendekatan dalam penelitian. Kecenderungan-kecenderungan yang dimaksud Creswell ini salah satunya berasal dari asumsi filosofis masing-masing peneliti selama proses penelitian.



  
B.       Paradigma dan Pertanyaan Ontologis, Epistemologis dan Metodologis
Pandangan yang sedikit berbeda diungkapkan Denzin dan Lincoln (2009, hal. 132) yang membagi paradigma menjadi empat kelompok dengan mengajukan tiga pertanyaan, yakni pertanyaan ontologis, pertanyaan epistemologis, dan pertanyaan metodologis. Keempat paradigma tersebut, di antaranya positivisme, post-positivisme, teori kritis, dan konstruktivisme.

1.        Pertanyaan ontologis (substansi realitas) merupakan ranah yang menekankan pada “apakah bentuk dan sifat realitas dan, oleh karena itu, apa saja yang ada di sana dapat diketahui?” Jika diasumsikan pada sebuah dunia “nyata”, sesuatu yang dapat diketahui tentang hal tersebut misalnya “bagaimana keadaan segala sesuatu di dunia nyata itu sesungguhnya” dan “bagaimana sesungguhnya dunia “nyata” ini berjalan”.
2.        Pertanyaan epistemologis (bagaimana kita mengenali pengetahuan kita) mengajukan “apakah sifat hubungan yang terjalin antara yang mengetahui atau calon yang mengetahui dengan sesuatu yang dapat diketahui?” Jadi, jika diasumsikan sebagai suatu realitas yang “nyata”, sikap yang mengetahui haruslah berupa sikap keterpisahan objektif atau bebas-nilai agar mampu menemukan “bagaimana keadaan segala sesuatu itu yang sesungguhnya” dan “bagaimana cara kerja segala sesuatu itu sesungguhnya”.
3.        Pertanyaan metodologis (proses penelitian) mengajukan permasalahan “apa saja cara yang ditempuh peneliti (calon yang akan mengetahui) untuk menemukan apa saja yang peneliti percaya dapat diketahui?” Pada tahapan ini, jawaban harus mempertimbangkan aspek ontologis dan epistemologis, intinya tidak menerapkan metodologi yang sembarangan.

Beberapa ilmuwan memiliki pemikiran tersendiri dalam menggolongkan paradigma, di antaranya Michael Crotty. Crotty (1998) menawarkan paradigma post-modernisme, feminism, kritis, interpretativisme, konstruktivisme dan positivisme. Peneliti yang memiliki kecenderungan paradigma interpetativisme meyakini bahwa pengalaman manusia sangat berbeda dari dunia alami. Paradigma interpetativisme meliputi berbagai orientasi, dengan setiap akar sejarahnya masing-masing. Secara umum, tindakan manusia berdiri secara terpisah dari keseluruhan fisik dan biologis karena merefleksikan kapasitas sebagaimana sejatinya seorang manusia. Sementara paradigma kritis bukanlah sekedar pemaparan kesimpulan data yang utuh, melainkan keseluruhan data yang terlihat maupun yang tidak terlihat dari bias ideologi dan implikasinya dalam menginvestigasi relasi kekuasaan.

C.       Tujuan Penelitian
Locke (2007) menjabarkan, tujuan penelitian memberikan penjelasan mengenai pertanyaan mendasar “Mengapa peneliti ingin melakukan penelitian dana apa yang ingin dicapai”. Secara umum, tujuan penelitian mengindikasikan maksud penelitian. Dalam penelitian pendekatan kualitatif, tujuan penelitian mencakup informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan juga bisa menyatakan rancangan penelitian yang dipilih. Intinya, tujuan penelitian harus melingkupi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini:




Setiap strategi penelitian memiliki dasar tujuan tersendiri selama penelitian. Berikut ini redesign konsep dari tujuan dari berbagai strategi penelitian dengan pendekatan kualitatif.




Untuk lebih jelas, saya melampirkan contoh tujuan penelitian dari paper Sunarto (2014) yang meneliti fenomena “Pengalaman Professional Pekerja Wanita dalam Industri Media di Jawa Tengah”. Dari penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai yakni untuk menggambarkan esensi pengalaman profesional pekerja wanita dalam industri media lokal di Jawa Tengah. Selain itu, juga menjelaskan latar belakang ideologi dominan di balik pengalaman pekerja wanita tersebut.







D.       Merumuskan Latar Belakang Penelitian
Latar belakang penelitian yang ideal mampu menjelaskan beberapa hal, di antaranya : 1) Asumsi awal peneliti terhadap suatu fenomena yang akan diteliti 2) Das sein dan das sollen dari fenomena yang melatari penelitian ini dilakukan, 3) Paparan hasil penelitian sebelumnya terkait fenomena yang akan diteliti, 4) Alasan-alasan yang mendasari mengapa melakukan penelitian ini, 5) Teori yang akan diterapkan dalam penelitian ini, 6) Strategi penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini. Di bawah ini merupakan contoh dari latar belakang tesis Irmayanti (2012) yang mengeksplor manajemen wajah kandidat politik dalam panggung debat politik. Tesis ini berjudul “Manajemen Wajah Kandidat Politik (Conversation Analysis Foke-Nara dan Jokowi-Ahok dalam Debat Kandidat Pilkada DKI Jakarta 2012, Jakarta Memilih  “The Final Round” live di Metro TV)”. (Materi selengkapnya pada pertemuan minggu ke 3, Rabu, 30 Agustus 2017)





References :

Creswell, John. 2010. Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London : SAGE Publication

Crotty, M. 1998. The Foundation of Social Research: Meaning and Perspection in the Research Process. Thousand Oaks, CA : SAGE Publications.

Denzin, Norman Lincoln, Yvonna. 2009. Handbook of Qualitatif Research (Eds). London : SAGE Publication

Hennink, Monique, Hutter, Inge & Bailey, Ajay. 2011. Qualitative Research Methods. London : SAGE Publication

Lawrence, Newman. 2011. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative ApproachesEd. 7. Boston: Allyn & Bacon.


Sunarto. (2014). ESENSI PENGALAMAN PROFESIONAL. Indonesia Media Research Awards & Summit (IMRAS) (pp. 245-258). Jakarta Pusat: Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat.

Minggu, 27 Agustus 2017

Perspektif dan Teori Komunikasi


THEORIES OF SYMBOLIC INTERACTION,
STRUCTURE AND CONVERGENCE

Interaksi menetapkan, mempertahankan, dan merubah konvensi, norma, aturan, dan makna tertentu di dalam suatu kelompok sosial atau budaya dan konvensi ini pada gilirannya menentukan realitas budaya itu sendiri. Bahasa mengasumsikan kepentingan khusus dalam teori ini, yakni sebagai bahasa yang merupakan wadah di mana realitas berada.

Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolis adalah aktivitas di bidang sosiologi terutama ditandai dengan ide-ide tertentu tentang komunikasi dan masyarakat. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa struktur sosial dan makna diciptakan serta dipelihara oleh interaksi sosial. Barbara Ballis Lal merangkum tempat gerakan ini :
  1. Orang-orang membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subyektif mereka dari situasi di mana mereka menemukan diri mereka sendiri.
  2. Kehidupan sosial terdiri dari proses interaksi dibandingkan struktur dan karena terdiri dari proses interaksilah maka akhirnya terus terjadi perubahan. 
  3. Orang-orang memahami pengalaman mereka melalui makna yang ditemukan dalam simbol kelompok utama mereka, dan bahasa adalah bagian penting dari kehidupan sosial. 
  4. Dunia ini terdiri dari benda-benda sosial yang diberi nama dan pemaknaan telah ditentukan secara sosial. 
  5. Tindakan masyarakat didasarkan pada interpretasi mereka, di mana objek dan tindakan yang relevan dalam situasi diperhitungkan dan didefinisikan. 
  6. Diri seseorang adalah objek yang signifikan dan seperti semua objek sosial didefinisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Awal paham interaksi dibagi menjadi dua pendekatan, yakni tradisi Chicago School, dipimpin oleh Herbert Blumer, melanjutkan karya George Herbert Mead. Blumer percaya atas bahwa semua studi tidak bisa dilakukan manusia dengan cara yang sama sebagai studi tentang sesuatu hal. Peneliti harus mencoba untuk berempati dengan subjek, memasukkan pengalamannya dan berusaha untuk memahami nilai setiap orang. Blumer dan para pengikutnya menghindari kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan stres kehidupan sejarah, otobiografi, kasus penelitian, buku harian, surat, dan wawancara tidak langsung. Blumer terutama menekankan pentingnya observasi partisipan dalam penelitian komunikasi. Selanjutnya, tradisi Chicago melihat orang-orang yang kreatif, inovatif dan bebas untuk menentukan setiap situasi dengan cara yang tak terduga. Diri dan masyarakat dipandang sebagai proses, bukan struktur, pembekuan proses yang akan menghilangkan esensi dari hubungan sosial.
Tradisi kedua, Lowa School, lebih mengambil pendekatan ilmiah. Manford Kuhn dan Carl Couch, pemimpinnya, percaya bahwa konsep interaksionis dapat dioperasionalkan. Meskipun Kuhn menerima prinsip dasar interaksionisme simbolis, ia berpendapat bahwa metode obyektif lebih bermanfaat daripada metode "soft" yang digunakan oleh Blumer. Kuhn bertanggung jawab untuk teknik pengukuran yang disebut uji Dua puluh Laporan (The Twenty Statements Test).
Ide-ide dasar dari tradisi-tradisi awal interaksi hidup di masa ini dan telah diadopsi oleh banyak ilmuwan sosial. Namun interaksionisme simbolis telah berubah secara signifikan sejak awal tahun, seperti Gary yang menyarankan interaksionisme simbolik diperluas dengan mengadopsi wawasan dari ranah teoritis lainnya dan semakin memberikan kontribusi terhadap pekerjaan bidang ilmu sosial lain.
Masa ini, menurut Fine, interaksionisme simbolis telah memasukkan studi tentang bagaimana kelompok mengkoordinasikan tindakan mereka, bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan, bagaimana realitas dibangun, bagaimana diri diciptakan, bagaiman struktur sosial besar dapat didirikan, dan bagaimana kebijakan publik dapat dipengaruhi.

Tradisi Chicago School
Tradisi Chicago School, George Herbert Mead biasanya dipandang sebagai pencetus gerakan utama, dan karyanya tentu membentuk inti dari Chicago School. Herbert Blumer, Guru Mead, menemukan interaksionisme simbolis panjang, suatu Ekspresi Mead sendiri tidak pernah digunakan. Blumer mengacu pada label ini sebagai istilah " sebuah neologisme agak barbar yang saya ciptakan dengan cara handoff..... Entah bagaimana term tertangkap ".
Tiga konsep Kardinal konsep dalam teori Mead, ditangkap di judul karyanya yang paling terkenal karyanya, yakni masyarakat, diri sendiri, dan pikiran. Kategori ini adalah aspek yang berbeda dari proses umum yang sama, tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan konsep yang hampir semua psikologis dan proses-proses sosial lainnya jatuh. Tindakan adalah unit lengkap yang tidak dapat melakukan dianalisis ke dalam bagian sub spesifik.
Suatu tindakan mungkin pendek dan sederhana, seperti mengikat sepatu, atau mungkin panjang dan rumit, seperti pemenuhan rencana hidup. Kisah berhubungan satu sama lain dan dibangun sepanjang seumur hidup. Kisah dimulai dengan dorongan, mereka melibatkan persepsi dan penugasan makna, latihan jiwa, menimbang alternatif, dan penyempurnaan. Dalam bentuk yang paling dasar, suatu tindakan sosial melibatkan tiga bagian hubungan: suatu gerakan awal dari satu individu, respon terhadap sikap orang lain, dan hasilnya. Hasilnya adalah makna komunikator atas tindakan tersebut. Makna tidak berada hanya dalam salah satu dari hal-hal ini, tetapi dalam hubungan triadic ketiganya.
Dalam perampokan, misalnya, perampok menunjukkan kepada korban apa yang dimaksudkan. Korban merespon dengan memberikan uang atau barang-barang, dan di gerakan awal dan respon, hasil didefinisikan (perampokan) telah terjadi. Bahkan tindakan individu, seperti berjalan soliter, yang interaksional karena mereka didasarkan pada gerakan dan tanggapan yang terjadi berkali-kali di masa lalu dan terus dalam pikiran individu. Tidak pernah mengambil jalan sendiri tanpa bergantung pada pemaknaan tindakan dan dipelajari dalam interaksi sosial dengan orang lain.
Aksi bersama dari sekelompok orang, seperti pernikahan, perdagangan, atau perang, terdiri dari interaksi interlinkage yang lebih kecil. Blumer mencatat bahwa dalam sebuah masyarakat yang maju porsi terbesar terdiri dari tindakan kelompok berulang, pola-pola stabil yang memiliki arti umum dan mapan bagi peserta mereka. Karena dari frekuensi pola tersebut dan stabilitas makna mereka, para sarjana cenderung memperlakukan mereka sebagai struktur, melupakan asal-usul mereka dalam interaksi. Blumer memperingatkan kita untuk tidak lupa bahwa situasi baru menimbulkan masalah yang memerlukan penyesuaian dan redefinisi. Dalam pengobatan baru-baru ini, Donald Ellis menulis, "bahwa makrotopik sosiologi (misalnya, etnis) tidak pernah benar-benar melihat, tetapi ada dan melalui aktivitas individu di situasi terkecil. Bahkan dalam pola kelompok yang sangat berulang-ulang, tidak ada yang permanen.
Setiap kasus baru harus memulai kehidupan dengan aksi individu. Tidak peduli seberapa solid. Tindakan kelompok tampaknya, masih berakar pada pilihan individu manusia: "Ini adalah proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan, bukan aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.
 Interlinkage mungkin meresap, diperpanjang, dan terhubung melalui jaringan rumit. Aktor yang jauh akhirnya bisa interlinkage di beragam cara, namun bertentangan dengan pemikiran populer, Jaringan atau institusi tidak berfungsi otomatis karena beberapa dinamika dalam atau persyaratan sistem: karena orang melakukan sesuatu berfungsi di berbagai titik, dan apa yang mereka lakukan adalah hasil dari bagaimana mereka mendefinisikan. Aspek pertama Meadian tentang analisis masyarakat menyatakan, masyarakat, atau kehidupan kelompok, terdiri dari perilaku kooperatif dari anggota masyarakat. Kerjasama manusia mengharuskan kita memahami niat orang lain, yang juga melibatkan mencari tahu apa yang Anda dan orang lain akan lakukan di masa depan. Dengan demikian, kerjasama terdiri dari "membaca" tindakan dan niat orang lain dan menanggapi dengan cara yang tepat.
Makna merupakan hasil penting dari komunikasi. Arti Anda adalah hasil dari interaksi dengan orang lain. Jadi, misalnya, meskipun Anda mungkin belum pernah mendengar tentang "telepon toilet," narapidana tahu itu dengan baik, mereka telah belajar bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan mendengarkan suara-suara melalui pipa saluran pembuangan di penjara. Kami menggunakan makna untuk menafsirkan kejadian sekitar kita. Interpretasi seperti percakapan internal: "Aktor memilih, mengecek, menunda, membentuk kembali kelompok, dan mengubah makna dari situasi di mana ia menempatkan dan mengarahkan tindakannya.
Mead menyebut gerakan dengan berbagi makna sebuah simbol signifikan. Masyarakat dimungkinkan oleh simbol signifikan. Karena kemampuan untuk menyuarakan simbol, kita membahasakan apa yang kita dengar dan kemudian dapat merespon diri sebagai respon orang lain kepada kita. Kita bisa membayangkan  seperti apa untuk menerima pesan kita sendiri, dan kita bisa berempati dengan pendengar dan mengambil peran pendengar, mental menyelesaikan respon lain.
Masyarakat, terdiri dari jaringan interaksi sosial di mana peserta menetapkan makna untuk mereka sendiri dan tindakan lainnya oleh penggunaan simbol.  mereka sendiri dan tindakan lain oleh penggunaan simbol. Bahkan berbagai lembaga masyarakat yang dibangun oleh interaksi terlibat dalam lembaga-lembaga tersebut.
Perhatikan sistem pengadilan di Amerika Serikat sebagai contoh. Pengadilan tidak lebih dari interaksi di antara para hakim, juri, pengacara, saksi, panitera, wartawan, dan lain-lain yang menggunakan bahasa untuk berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini menanggapi dan merespon konsep penting dalam teori Mead, dan menyediakan transisi yang baik untuk keduanya, yakni konsep mengenai “diri”.
Anda memiliki diri karena Anda dapat merespon diri Anda sebagai obyek. Anda kadang-kadang bereaksi dengan baik untuk diri sendiri dan merasa bangga, kebahagiaan, dan dorongan. Anda kadang-kadang menjadi marah atau jijik dengan diri sendiri. Cara utama Anda datang untuk melihat  diri Anda sebagai orang lain melihat Anda adalah melalui pengambilan peran atau asumsi perspektif orang lain, dan ini adalah apa yang menyebabkan Anda untuk memiliki konsep diri.
Istilah umum untuk konsep diri lainnya, semacam perspektif komposit dari yang Anda lihat sendiri. Anda telah belajar gambar diri dari masa-masa  interaksi simbolik dengan masyarakat lain. Orang lain yang signifikan, yakni orang-orang terdekat Anda, sangat penting karena reaksi mereka telah sangat berpengaruh dalam hidup Anda. Perhatikan, misalnya, citra diri remaja. Sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain seperti orang tua, saudara, dan teman sebaya, remaja datang untuk melihat diri mereka sebagaimana orang lain telah melihat mereka.
Diri memiliki dua sisi, masing-masing melayani fungsi penting. I adalah, impulsif, tidak terorganisir, diarahkan, bagian tak terduga dari Anda. Me adalah yang lain umum, dibentuk dari organisir dan pola-pola yang konsisten dengan orang lain. Setiap perbuatan diawali dengan dorongan dari I dan cepat dikendalikan oleh me. I adalah kekuatan pendorong dalam tindakan, sedangkan me memberikan arahan dan bimbingan. Mead menggunakan konsep dari “Me” untuk menjelaskan secara sosial Anda dapat diterima dan perilaku adaptif dan I untuk menjelaskan kreatif Anda, yakni dorongan yang tak terduga.
Sebagai contoh, banyak orang sengaja akan mengubah situasi kehidupan mereka dalam rangka untuk mengubah konsep diri mereka. Seperti perubahan yang mungkin sudah terjadi, misalnya, ketika Anda pergi ke perguruan tinggi. Banyak siswa SMA memutuskan bahwa mereka akan menggunakan perguruan tinggi untuk bergaul dengan kelompok baru signifikan orang lain.
Berpikir adalah konsep ketiga Mead, yang dia sebut pikiran. Pikiran bukanlah benda, tapi proses. Sekarang lebih dari berinteraksi dengan diri sendiri. Kemampuan, yang mengembangkan diri, sangat penting bagi kehidupan manusia, karena itu adalah bagian dari setiap tindakan. Di sini Anda memikirkan masa depan situasi dan rencana tindakan.
Pandangan lainnya dari Blumer yakni menyatakan obyek dari tiga jenis fisik (hal), sosial (masyarakat), dan abstrak (ide). Orang-orang mendefinisikan benda berbeda, tergantung pada bagaimana mereka bertindak terhadap objek.
Dalam studi mengenai ganja oleh Howard Becker mengilustrasikan konsep objek sosial yang sangat baik. Becker menyatakan bahwa pengguna belajar setidaknya melalui tiga interaksi dengan pengguna lain. Pertama adalah merokok obat yang benar. Kedua, perokok harus belajar untuk menentukan sensasi yang ditimbulkan oleh obat. Dengan kata lain, individu belajar untuk membedakan efek ganja dan untuk mengasosiasikan dengan merokok. Becker mengklaim bahwa hubungan ini tidak terjadi secara otomatis dan harus dipelajari melalui interaksi sosial dengan pengguna lain. Terakhir, perokok harus belajar mendefinisikan efek nyaman dan yang diinginkan.
Di sini, kita melihat bahwa ganja adalah objek sosial. Maknanya diciptakan dalam proses interaksi. Bagaimana orang berpikir tentang obat (pikiran) ditentukan oleh makna mereka, dan asumsi dari kelompok (masyarakat) juga merupakan produk dari interaksi.
 
Tradisi Iowa School
Sebelum mempertahankan prinsip-prinsip dasar interaksionis, Manford Kuhn dan murid-muridnya mengambil dua teori. Pertama adalah membuat konsep diri lebih konkret, yang kedua, yang membuat pertama mungkin, adalah penggunaan penelitian kuantitatif. Blumer sangat mengkritik tren dalam mengoperasionalkan ilmu perilaku, Kuhn membuat titik untuk melakukan hal itu! Akibatnya Kuhn bergerak lebih ke arah analisis mikroskopis daripada Pendekatan Tradisonal Chicago. Kuhn memahami dasar semua tindakan sebagai interaksi simbolik.
Seperti Mead dan Blumer, Kuhn membahas pentingnya benda-benda di dunia pelaku. Benda tersebut dapat berupa aspek realitas seseorang: sesuatu hal, kualitas, peristiwa, atau keadaan. Persyaratan untuk menjadi obyek adalah nama orang mewakili secara simbolis. Sebuah konsep penting kedua Kuhn adalah rencana aksi, total perilaku seseorang pola menuju objek tertentu. Sikap, atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai ke arah mana tindakan akan diarahkan, membimbing rencana. Karena sikap adalah pernyataan lisan, mereka juga dapat diamati dan diukur. Konsep ketiga Kuhn adalah orientasi lainnya, seseorang yang telah sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Dalam bahasan ini, dasar identik penting, seperti digunakan oleh Mead. Orang-orang ini memiliki empat kualitas. Pertama, mereka adalah orang-orang kepada siapa individu secara emosional dan psikologis berkomitmen. Kedua, mereka adalah orang-orang yang menyediakan orang dengan kosa kata umum, konsep sentral, dan kategori. Ketiga, mereka menyediakan individu dengan perbedaan mendasar antara diri dan lain-lain, termasuk diferensiasi peran yang dirasakan seseorang. Keempat, komunikasi orientasional 'terus mempertahankan konsep diri individu.
Akhirnya, kita sampai pada yang paling penting Kuhn Konsep-diri. Teori Kuhn dan metode berputar di sekitar diri, dan di daerah ini Kuhn paling dramatis memperluas pemikiran interaksionis simbolis. Konsepsi diri, rencana aksi individu terhadap diri, terdiri dari identitas seseorang, kepentingan dan keengganan, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri. Seperti konsepsi-diri sikap yang anchoring, karena mereka bertindak sebagai seseorang kerangka acuan dengan kerangka acuan untuk menilai benda-benda lainnya. Semua rencana tindakan berikutnya berasal terutama dari konsep diri.
Kuhn bertanggung jawab atas teknik yang dikenal sebagai Test Dua Puluh Laporan Diri (TST) untuk mengukur berbagai aspek diri. Ada dua puluh nomor kosong pada halaman bawah. Silakan menulis dua puluh jawaban pertanyaan sederhana, "Siapakah aku?". Nafsu memberikan dua puluh jawaban yang berbeda untuk pertanyaan ini. Tuliskan jawaban dalam urutan yang terjadi pada Anda.
Ada beberapa cara untuk menganalisis tanggapan dari tes ini, masing-masing menekan berbeda aspek diri. Dua di antaranya adalah variabel memesan (The Ordering Variable) dan variabel lokus (The Locus Valiable). Variabel memesan (The Ordering Variable)  adalah ciri khas relatif dari identifikasi memiliki individu. Hal ini dapat diamati dalam urutan laporan yang tercantum pada formulir. Misalnya, jika orang daftar "Baptis" banyak lebih tinggi daripada "Ayah," peneliti dapat menyimpulkan bahwa orang mengidentifikasi lebih mudah dengan afiliasi agama dibandingkan dengan afiliasi keluarga. Variabel lokus (The Locus Variable) adalah sejauh mana subjek dalam ketentuan umum cenderung diidentifikasikan dengan pengelompokkan konsensus seperti "Amerika" ketimbang istimewa (idiosyncratic), kualitas subyektif seperti "kuat."
Dalam penilaian sikap tes diri, Anda dapat menempatkan pernyataan di salah satu dari dua kategori. Sebuah pernyataan adalah konsensus jika terdiri dari kelompok diskrit atau identifikasi kelas, seperti mahasiswa, wanita, suami, Baptis, dari Chicago, anak, anak tertua, mahasiswa teknik. Pernyataan lain deskripsi yang tidak disepakati bersama dalam kategori. Contoh tanggapan sub konsensual senang, bosan, cantik, baik mahasiswa, terlalu berat, istri yang baik, menarik. Jumlah pernyataan dalam konsensus kelompok adalah nilai lokus individu.

Memperluas Interaksionisme:
Erving Goffman
Erving Goffrnan adalah salah satu sosiolog yang paling terkenal dari abad kedua puluh. Dia dikenal baik dalam menggunakan metafora teater, di mana pengaturan biasa adalah panggung dan orang-orang yang menggunakan aktor pertunjukan untuk membuat kesan pada penonton. Asumsi Goffman dimulai dengan orang entah bagaimana harus memahami peristiwa yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi situasi Anda adalah definisi Anda tentang situasi. Seringkali definisi pertama tidak memadai dan pembacaan ulang mungkin diperlukan, seperti dalam kasus lelucon praktis, kesalahan, atau melewatkan pemahaman. Pembacaan ulang ini penting karena kita sering menipu satu sama lain.
Definisi seseorang dari sebuah situasi dapat dibagi ke strip (Strips)  dan frame (Frames). Strip adalah urutan aktivitas seperti membuka pintu kulkas, mengeluarkan susu, menuangkan ke dalam gelas, meminumnya, dan menempatkan kaca ke dalam mesin cuci piring. Sebuah frame adalah pola organisasi dasar yang digunakan untuk mendefinisikan strip. Strip dari kegiatan yang tercantum di atas, misalnya, mungkin akan dibingkai sebagai "mendapatkan minuman."
Analisis bingkai demikian memeriksa cara pengalaman yang terorganisis untuk individu.  Frame memungkinkan orang untuk mengidentifikasi dan mengerti kejadian dinyatakan berarti, memberi makna untuk kegiatan yang sedang berlangsung dalam kehidupan. Kerangka alami adalah kejadian yang terarah alami yang mana individu harus mengatasi tekanan (windstorm).
Kerangka, kemudian, adalah model yang kita gunakan untuk memahami pengalaman kami, cara kita melihat hal bersama beberapa kesatuan yang koheren. Kerangka utama adalah unit organisasi dasar seperti berbicara, makan, dan berpakaian, tetapi kerangka utama dapat diubah menjadi kerangka sekunder. Berikut dasar prinsip organisasi kerangka primer yang digunakan untuk memenuhi tujuan yang berbeda. Sebuah permainan, misalnya, adalah model kerangka sekunder model setelah kerangka utama perkelahian atau persaingan. Sebagian besar kerangka kerja kami sama sekali tidak utama, meskipun mereka dimodelkan setelah primer. Contoh termasuk drama, penipuan, eksperimen, dan fabrikasi lainnya. Hidup biasa penuh dengan kerangka sekunder.
Kegiatan komunikasi, seperti semua kegiatan, dipandang dalam konteks analisis bingkai. Keterlibatan wajah, atau pertemuan, terjadi ketika orang berinteraksi dengan satu sama lain dalam cara terfokus. Keterlibatan wajah, Anda memiliki fokus tunggal atas perhatian dan aktivitas sama yang dirasakan. Dalam interaksi terfokus di tempat umum, Anda mengakui keberadaan orang lain tanpa memberi banyak perhatian. Hal ini terjadi, misalnya, ketika Anda berdiri dalam antrean di pemberhentian bus. Dalam situasi tidak fokus, Anda mungkin diakses untuk sebuah pertemuan yang bisa dimulai ketika penumpang lain menyerang percakapan. Akan melewati dua rangkaian proses dalam upaya untuk mendefinisikan situasi, pertama, mendapatkan informasi tentang orang lain dalam situasi dan kemudian memberi informasi tentang dirimu.
Predicaments sangat menarik. Misalkan Anda disalahkan untuk sesuatu. Anda dapat merespon dalam beberapa cara, Anda dapat memberikan alasan, justifikasi, permintaan maaf, dan banyak lagi. Misalnya, dalam membuat alasan, Anda mungkin mengatakan bahwa Anda tidak bermaksud melakukannya, bahwa Anda tidak menyadari apa yang akan terjadi, atau bahwa Anda tidak bisa membantu. Pembenaran termasuk bandingan ke otoritas yang lebih tinggi, membela diri, loyalitas, atau beberapa set lainnya.

Teori Strukturasi
Secara umum, interaksionisme simbolis konsen pada proses mikro, atau interaksi aktual yang terjadi antara orang-orang di tingkat serendah mungkin. Mereka membuat kasus bahwa proses mikro menciptakan struktur makro di masyarakat, namun mereka tidak menguraikan ide ini sangat baik, atau, dalam umum, apakah mereka mengakui efek-kebalikan pengaruh macrostructure pada proses mikro.
Strukturasi teori ini, gagasan sosiolog Anthony Giddens dan para pengikutnya, adalah teori umum aksi sosial. Teori ini menyatakan bahwa tindakan manusia adalah proses memproduksi  dan mereproduksi berbagai sistem sosial. Komunikator bertindak strategis sesuai dengan aturan untuk mencapai tujuan mereka dan dengan demikian menciptakan struktur yang datang kembali untuk mempengaruhi tindakan masa depan. Struktur seperti relasional, kelompok harapan peran dan norma, jaringan komunikasi, dan lembaga kemasyarakatan baik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tindakan sosial. Ellis menyebut interaksi dan struktur sosial "dikepang entitas".
Giddens mengatasi perdebatan antara mereka yang memegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh kekuatan luar dan mereka yang menganjurkan intensionalitas tindakan manusia. Dia mengklaim bahwa sengketa kedua belah pihak dalam hal ini benar karena kehidupan sosial adalah dua sisi koin sisi. Kami sengaja bertindak untuk mencapai niat kita, pada saat yang sama, tindakan kita memiliki yang tidak diinginkan konsekuensi dari struktur menetapkan bahwa tindakan mempengaruhi masa depan kita. Ketika kita melakukan hal-hal tertentu untuk mencapai tujuan kita, kita tidak menyadari banyak hasil dari konsekuensi dari tindakan dan struktur. Sebagai contoh, katakanlah Anda benci kekacauan dan ingin memastikan pertemuan bahwa grup kamar Anda selalu rapi. Anda mengambil tanggung jawab memetik hal-hal sebelum setiap pertemuan. Sebelumnya, anggota lain akan mengharapkan Anda untuk melakukan ini, dan Anda akan menciptakan peran "penjaga". Bahkan ketika Anda tidak merasa seperti itu, Anda mungkin masih membenahi ruang panitia karena yaitu peran Anda.
Sebagai contoh, Donald Ellis menunjukkan bagaimana etnis yang terkandung dalam strukturasi. Kami menciptakan perbedaan etnis oleh pola interaksional dalam dan antara kelompok. Etnis adalah susunan struktural menciptakan lebih banyak sejarah melalui lokal praktek di seluruh dunia. Ini adalah penciptaan interaksi dalam banyak cara yang sama seperti interactionis simbolik.
Giddens percaya bahwa strukturasi selalu melibatkan tiga modalitas utama, atau dimensi, yakni (1) interpretasi atau pemahaman (2) rasa moralitas atau perilaku yang tepat, dan (3) kekuatan dalam tindakan. Aturan yang kita gunakan untuk memandu tindakan kita, dengan kata lain, memberitahu kita bagaimana sesuatu yang harus dipahami (interpretasi), apa yang harus dilakukan (moralitas), dan bagaimana untuk mendapatkan sesuatu dicapai (power).
Dua hal yang dapat terjadi. Pertama, salah satu struktur dapat mediasi dengan yang lain. Contohnya, kelompok boleh menghasilkan jaringan komunikasi, tapi mereka terbentuk dari peran sosial. Struktur kedua hubungan satu dengan lainnya melalui kontradiksi.

PROSES SIMBOLIS DALAM KONVERGENSI
Jika, sebagai interactionis simbolik mengklaim, orang ditarik bersama-sama oleh makna umum dalam bahasa, dan jika, sebagai strukturasionis mengklaim, ada hubungan erat antara interaksi sosial dan struktur, maka masuk akal untuk melihat bagaimana orang dapat menggunakan bahasa untuk menciptakan struktur yang meningkatkan pengaruh melalui konvergensi.

Kenneth Burke dan Identifikasi
Kenneth Burke telah menulis secara luas, termasuk menulis kreatif, sastra, dan kritik retorika, psikologi sosial, dan analisis linguistik. Konsep Burke tidak diturunkan secara langsung dari karya Mead dan sosiolog awal lainnya, namun karyanya sangat konsisten dengan yang pendekatan lain yang disajikan dalam bab ini.
Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme, yang membedakan antara tindakan dan gerak. Aksi terdiri dari tujuan, sukarela perilaku, gerakan yang tidak penuh tujuan, tidak bermakna. Obyek dan hewan memiliki gerak, tetapi hanya manusia memiliki tindakan. Burke memandang individu sebagai makhluk biologis dan neurologis, dibedakan dengan simbol menggunakan perilaku, kemampuan untuk bertindak. Orang-orang menciptakan, menggunakan, dan menyalahgunakan simbol hewan.
Untuk memahami komunikasi dalam pandangan Burke, kita harus mengetahui konsepnya tentang tindakan yang berarti juga mengerti beberapa ide sentral yang dikemukakannya, seperti simbol, bahasa, dan komunikasi.
Tindakan dipahami oleh Burke seperti ia dipahami dalam drama, bahwa tindakan (action) berbeda dengan gerakan (motion). Tindakan terdiri atas tingkah laku yang bertujuan dan bermakna, sedangkan gerakan tidak. Ia memandang manusia sebagai makhluk biologis dan neurologis yang berbeda dari makhluk lain karena tingkah laku penggunaan simbol (symbol-using), yaitu kemampuan bertindak. Bagi Burke, manusia menciptakan simbol (symbol-creating) untuk menamai sesuatu, menggunakan simbol (symbol-using) untuk berkomunikasi, dan mengabaikan simbol (symbol-misusing) yang tidak menguntungkan.
Adapun dalam hal bahasa, Burke memandang setiap kata selalu bersifat emosional dan tidak pernah netral. Maksudnya, setiap sikap, putusan, dan perasaan kita selalu terdapat dalam bahasa yang kita gunakan. Untuk memahami ini, kita perlu menilik konsep Burke tentang rasa bersalah (guilt), yaitu perasaan dan tekanan yang terdapat pada diri seseorang akibat penggunaan simbol, misalnya kegelisahan, benci diri sendiri (self-hatred), dan kebencian. Menurut Burke guilt diakibatkan oleh tiga hal, yaitu (1) negatif, rasa bersalah dalam hal ini dipandang sebagai akibat dari mengikuti peraturan yang bertentangan dengan aturan lain; (2) prinsip perfeksi, dalam hal ini rasa bersalah dihasilkan dari ketidaksesuaian antara yang ideal dengan kenyataan; dan (3) prinsip hirarkis, dalam hal ini rasa bersalah merupakan hasil dari persaingan dan perbedaan yang pada akhirnya membentuk sebuah hirarki. Seluruh tindakan dan komunikasi, menurut Burke, didasari oleh guilt, yaitu untuk mengusir rasa bersalah.
Lebih jauh, dalam menjelaskan komunikasi, Burke menggunakan beberapa istilah yang bersinonim, yaitu konsubstansialitas (consubstantiality), identifikasi (identification), persuasi (persuasion), komunikasi (communication), dan retorika (rethoric). Konsubstansialitas menyatakan makna substansi yang dibagi bersama antarindividu dalam masyarakat, sedangkan identifikasi, lawan dari pembedaan (division), menyatakan peningkatan pemahaman yang bermaksud persuasi dan atau komunikasi yang efektif. Burke selanjutnya membedakan tiga macam identifikasi, yaitu (1) identifikasi material, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, benda, kebutuhan, dan kepemilikan yang terwujud dalam hal, seperti memiliki mobil yang sama; (2) identifikasi idealistik, merupakan hasil dari abstraksi yang meliputi, misalnya, nilai, sikap, perasaan, dan ide yang terwujud dalam hal, seperti menjadi anggota organisasi yang sama; dan (3) identifikasi formal, merupakan hasil dari abstraksi yang berasal dari pemaknaan peristiwa yang menempatkan kelompok-kelompok tertentu dalam pihak tertentu. Lebih singkat, menurut Burke komunikasi lebih sukses jika identifikasi lebih besar dari divisi. Komunikasi yang sukses dapat dilakukan dengan strategi, dalam hal ini berarti retorika, yang memiliki jumlah hampir tak terbatas.
Meskipun tidak menyebut beragam strategi yang mungkin digunakan seseorang dalam sebuah peristiwa retoris, Burke menyediakan kerangka kerja analisis dasar untuk mengkaji tindakan yang disebutnya lima sisi dramatis (dramatistic pentad), meliputi tindakan (act), adegan (scene) atau situasi dan seting kejadian, pelaku (agent), fungsi pelaku (agency), dan tujuan (purpose).

Teori Konvergensi Simbolis
Teori konvergensi simbolis dikembangkan oleh Ernest Boemann, John Cragan, dan Donald Shield. Teori yang dikenal juga dengan sebutan analisis tema fantasi (fantasy-theme analysis) ini berkaitan dengan kegunaan narasi dalam komunikasi. Tema fantasi merupakan bagian dari drama atau cerita besar yang lebih rumit yang disebut visi retoris (rethorical vision), yang secara esensial berarti pandangan tentang bagaimana sesuatu terjadi atau akan terjadi. Visi retoris membentuk cara kita memahami realitas dalam wilayah yang tidak bisa kita alami langsung, melainkan melalui reproduksi simbolis. Sebuah tema fantasi, bahkan visi retoris yang lebih besar, biasanya terdiri atas karakter (characters), bangunan cerita (plot line), seting atau scene yang terdiri atas lokasi, properti, lingkungan sosiokultural, dan sumber yang melegitimasi cerita (sanctioning agent).
Dalam keseharian, visi retoris menjadi mapan melalui tema fantasi yang dimiliki bersama dan membuat kelompok tersebut lebih peka terhadap cara memandang sesuatu. Dengan kata lain, visi retoris menjaga kesadaran bersama (shared consciousness) komunitas tertentu, sebab ia memiliki struktur dalam yang memperlihatkan dan mempengaruhi cara kita memandang realitas. Meskipun demikian, visi retoris dapat berubah, berkembang, atau bertambah melalui komunikasi publik yang biasanya menawarkan sebuah visi baru melalui tiga macam analogi, yaitu (1) analogi kebenaran, berhubungan dengan bagaimana kita dapat hidup secara bermoral; (2) analogi sosial, berkaitan dengan bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan orang lain; dan (3) analogi pragmatis, berkaitan dengan cara kita melakukan sesuatu.

Komentar dan Kritik
Kritik terhadap interaksionalisme simbolis mencakup empat hal. Pertama, karena terlalu sibuk dengan abstraksi yang spekulatif, interaksionalisme simbolis lebih tepat dianggap sebagai filsafat sosial daripada teori sosial. Kedua, karena alasan yang sama, interaksionalisme simbolis dianggap mengabaikan banyak variabel eksplanatoris. Ketiga, banyak konsep dalam interaksionalisme simbolis digunakan dengan batasan yang kurang jelas, misalnya diri, Aku, aku, dan peran. Keempat, teori ini dituduh gagal menghubungkan konsep makna dengan diri.

Referensi :
Littlejohn, Stephen W. 2002. “Theories of Human Communication, 7th Ed.” . Wadsworth.


 

WARNING!!!

PLEASE DON'T DO PLAGIARISM CAUSE IT'S NO INDONESIAN!!!